Catatan tentang Haji Tona, ingatan pelaut Bugis, dan pengingat bernama pinisi
Barito River Cruise yang diluncurkan di Banjarmasin Kalimantan Selatan pada Februari 2025 lalu bukan sekadar wisata sungai. Ia adalah pertemuan ingatan, merajut kisah tradisi maritim, dan kehidupan manusia yang pernah hidup dari bentangan layar perahu. Di dermaga Basirih, pertemuan itu terjadi pada seorang pelaut tua bernama Haji Tona.
Ditengah terik siang Banjarmasin yang menyengat, seorang lelaki tua berdiri sendirian di pinggir dermaga pelabuhan Basirih, tempat di mana lalu lalang perahu klotok kerap berkejaran dengan riak sungai Martapura. Usia lelaki tua itu sudah melewati delapan dekade, dengan tubuh yang kurus dan punggung agak membungkuk. Sorot matanya sayu, dalam, dan cekung — seperti cekungan waktu yang telah menggerus ingatan dan tenaganya.
Namun siang itu, ada yang berbeda hingga membuat matanya berbinar.
Ia menatap lurus ke arah sebuah kapal pinisi yang bersandar tenang. Kapal kayu itu berdiri dengan anggun penuh wibawa masa silam. Badannya dari kayu ulin dan jati, layar yang belum dikembangkan, dengan dua tiang tinggi yang menjulang. Dinding bagian depan haluan terpampang namanya : Pinisi Pusaka Indonesia.
Pelaut Tua dan Kapal yang Menghentikan Waktu
Lelaki tua itu pun berjalan pelan seolah agak segan mendekat. Langkahnya kecil, seperti menghitung jarak antara kenyataan dan kenangan. Setiap langkah yang menapak dermaga terdengar seperti gema dari masa lampau — masa di mana, ia pernah berada di atas kapal seperti itu. Bukan sebagai penumpang, melainkan sebagai bagian dari jiwa kapal itu sendiri.
“Kenapa kapal ini bisa ada disini?” gumamnya pelan dalam aksen Bugis yang sangat kental.
Tak ada yang bisa menjawab bahkan setelah ia dipersilahkan masuk dan duduk dalam kabin utama, pun belum ada yang menjawabnya. Namun tampaknya ia tidak begitu peduli. Tatapannya menyapu semua ornamen dalam kabin. Terperangah dan matanya seketika berkaca-kaca. Kapal Pinisi ini adalah mesin waktu yang menarik ingatannya melayang ke masa silam.
![]() |
| Pinisi Barito River Cruise bersandar di pelabuhan Basirih |
Haji Tona, Bugis dari Salemo
Namanya Haji Tona. Pria Bugis dari pulau Salemo, Pangkep. Sudah lebih dari 50 tahun menjadi warga Banjarmasin. ia Dulu, katanya, pernah menjadi awak perahu seperti ini. Usianya masih belasan tahun namun sudah mengerti bahasa kayu dan ikatan tali-temali layar. Ia bisa menimbang keseimbangan kapal hanya dengan satu hentakan kaki di geladak. Demi Hajar - "itu nama kapalku. Panjang dan lebarnya sama dengan kapal ini, tapi tidak pakai mesin," ujarnya dalam aksen Bugis.
Ia mengaku tak sengaja lewat di dermaga dan melihat kapal Pinisi itu. Tapi cara ia menatapnya — lama, diam, seperti berdoa — menunjukkan bahwa ini bukan kunjungan tanpa maksud. Mungkin ini perjalanan kecil untuk menemukan masa lalu. Mungkin hanya untuk memastikan bahwa sesuatu dari dirinya masih tertambat di sana, pada tiang-tiang kapal, pada aroma garam yang menempel pada tali temalinya.
“Saya jadi awak kapal seperti ini sejak tahun 1960. Kami selalu bawa banyak barang. Ke Jawa, Sumatera bahkan sampai Malaysia,” katanya sambil menyeringai kecil. “Awal tahun 2000 saya turun ke darat. Waktu itu sudah banyak kapal besi dan kapal yang pakai mesin. Kami tidak bisa bersaing, ”
Ia lalu bercerita — pelan, mengalir, dengan suara parau — tentang masa dimana pelayaran mereka wajib ditentukan oleh kondisi alam laut. Tentang rute pelayaran yang menyasar ke negeri jauh lantaran layar mengikuti hembusan angin. Tentang badai yang datang tiba-tiba, tentang bintang-bintang yang menjadi peta, dan tentang sahabat-sahabat yang hilang ditelan gelombang dan waktu.
Ketika Layar Kalah oleh Mesin
Kapal Pinisi pada masa Haji Tona adalah kapal yang sejatinya menggunakan layar. Mereka menjelajahi belahan samudera dengan mengendarai angin dan meniti arus. Pada masa itu, layar menjadi satu-satunya sumber tenaga penggerak, memanfaatkan angin untuk mengarungi laut.
Kini semuanya sunyi. Kapal-kapal kayu versi pemahaman Haji Tona sudah tinggal sedikit, digantikan oleh kapal besi dan kapal bermesin, dan para pelaut muda mulai buta tradisinya. Mereka lebih mengenal peta digital daripada membaca arah angin.
Dimata Haji Tona, pinisi itu — yang berdiri gagah dan diam — menjadi saksi bisu bahwa sejarah belum benar-benar menghilang. Dan lelaki tua itu, dengan tubuh rapuh dan pandangan yang berkabut, adalah halaman terakhir dari buku yang belum rampung ditulis.
"Apa maksudmu datang ke Banjarmasin dengan kapal ini? Tidak muat barang, tidak muat penumpang?" tanya Haji Tona penasaran. "kenapa mesti berlayar di sungai Barito? Kenapa bukan dilaut? " sambungnya. Saat itu pula ia mesti ekstra berpikir untuk memahami semua jawaban yang diterimanya.
Pinisi Barito River Cruise dan Makna Sebuah Pengingat
Haji Tona mungkin adalah warga Kalimantan Selatan pertama yang paham tentang maksud dari keberadaan Pinisi Pusaka Indonesia di sungai Barito. Keberadaan pinisi merupakan hasil dari sebuah perjanjian yang disepakati dalam sebuah program wisata sosial bernama Pinisi Barito River Cruise.
Peluncuran Kapal pinisi Barito River Cruise di Banjarmasin
Inisiasi kerjasama program Barito River Cruise bersama sebuah perusahaan bernama Ambang Barito Nusapersada atau Ambapers di Banjarmasin rupanya berhasil menoreh sejarah baru. Sebuah terobosan tentang pemanfaatan potensi sungai Barito sebagai wisata alur sungai pertama Indonesia yang menggunakan kapal Pinisi.
Pinisi Barito River Cruise menjadi media khusus bagi masyarakat Kalimantan Selatan untuk mengenal kembali lingkungan alamnya. Memberi ruang bagi semua kalangan untuk memahami dan mencintai sungai Barito sekaligus membuka wawasan tentang tradisi dan kearifan lokalnya.
Papparingerrang: Sejarah yang Tidak Pergi
Namun terlepas dari semua pencitraan sosial itu, keberadaan pinisi di sungai Barito bagi Haji Tona adalah refleksi. Ia menyebutnya "papparingerrang" yang berarti pengingat. Media untuk menjewantahkan sejarah. Pinisi bukan sekedar media transportasi namun lebih sebagai wadah interaksi sosial yang dikonstruksi untuk menyatukan semua bentuk ragam kebudayaan nusantara.
Ia tertegun lama. Setelah menyesap kopi, tangannya perlahan mengusap dinding kapal, mulutnya komat kamit semacam mode ritual. Tak lama kemudian ia berpamitan. Tiba dipinggir dermaga ia berhenti dan kembali menoleh menatap kapal. Ia mungkin bernostalgia pada masa itu ketika ia turun ke dermaga, mesti menunggu sebuah isyarat untuk kembali berlayar.
Saat matahari mulai condong disebelah barat, lelaki tua itu perlahan berbalik. Ia berjalan pergi menyusuri dermaga. Sesuatu tertinggal di sana. Bukan sekadar jejak kaki. Mungkin kenangan. Mungkin rindu. Mungkin bagian dari jiwa yang telah lama berpaut pada laut — dan mungkin tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.


0 Comments