Menggunungnya Invasi Sampah di Gunung Lompobattang


Gunung Lompobattang merupakan gunung tertinggi kedua di Sulawesi Selatan dengan ketinggian 2.870 mdpl. Letaknya berada di antara garis batas wilayah kab. Gowa dan kab. Jeneponto yang juga merupakan bagian dari pegunungan Bawakaraeng.

Pesona dan daya tarik alam gunung Lompobattang mampu memikat setiap wisatawan mancanegara maupun domestik yang datang mengunjunginya. Pemandangan gunungnya menakjubkan dengan hamparan hutan yang rimbun, asri dan natural.

Pegunungan Lompobattang - Bawakaraeng adalah aset berharga kab. Gowa yang tidak mungkin dikesampingkan. Selain potensi hutannya yang kaya, dalam perut (battang) besarnya (lompo) tersimpan sumber air melimpah yang selama ini memenuhi kebutuhan air bersih di 5 kabupaten di Sulawesi Selatan.

Memiliki pesona alam yang nyaris sempurna, gunung Lompobattang menjadi objek wisata petualangan yang tidak pernah sepi pengunjung, terutama pada momen-momen khusus seperti hari kemerdekaan atau tahun baru masehi. 

Petugas pengawas yang berjaga di dusun Malakaji, sebuah desa kecil di lereng gunung Lompobattang, sejauh ini mencatat lonjakan jumlah pengunjung gunung Lompobattang sudah mencapai ribuan orang setiap musim liburan. Pengunjungnya yang dominan anak muda nampaknya sudah tidak bisa terbendung.

Melambungnya popularitas gunung Lompobattang sebagai salah satu objek wisata alam yang paling ramai dikunjungi ternyata belum mampu menarik perhatian pemerintah Gowa. Belum ada program khusus untuk melakukan pengelolaan yang profesional. Belum ada sama sekali realisasi program pembinaan sumber daya terpadu bagi warga desa yang kebingungan, ketika desanya kini setiap waktu diserbu ribuan orang yang datang dari berbagai daerah. Belum ada tindakan apapun yang berarti.

Seperti pada umumnya manajemen pengelolaan objek wisata daerah yang ada di Sulawesi Selatan, aturan yang mengikat etika wisata bagi pengunjung masih ala kadarnya dan belum diterapkan secara efektif.

Lonjakan jumlah kunjungan di gunung Lompobattang yang fantastis merupakan efek dari trend budaya media sosial yang mulai marak sejak tahun 2010. Popularitasnya menjulang seiring gencarnya tradisi narsis yang menjadi khas media sosial.

Sebelumnya, gunung Lompobattang termasuk destinasi eksklusif lantaran wilayah lerengnya sulit dijangkau oleh kendaraan. Selain itu, medannya berat. Hanya instansi pemerintah, militer dan komunitas tertentu yang mengunjungi gunung ini. Mahasiswa dan kelompok pecinta alam yang datang pun merupakan kumpulan orang yang sudah mapan dari segi fisik, etika dan wawasan tentang aktifitas alam.

Jalan setapak menuju desa lereng

Meledaknya trend media sosial sejak tahun 2010, telah menciptakan generasi muda berprilaku agresif dengan pengetahuan instan. Mereka yang disebut generasi "milenia" ini pada umumnya mengidap penyakit "selfie" yang gemar mengumbar budaya narsisme dimana-mana. Kaum inilah yang paling mendominasi jumlahnya di gunung Lompobattang.

Begitu tingginya hasrat ingin "terlihat keren", hingga memaksa ribuan anak muda pecandu narsis ini rela berbondong-bondong menempuh medan berat gunung Lompobattang, tanpa pengetahuan dan wawasan aktifitas alam yang memadai. Dan celakanya lagi, tanpa etika.

Tak ayal lagi, gunung Lompobattang yang dulunya teduh dan damai, kini berubah riuh tak terkendali. Ribuan kaum pecandu narsis yang bergaya "mendadak petualang", tiba-tiba muncul dari berbagai arah, datang seperti lalat mengerubungi bangkai. 

Pengetahuan aktivitas alam yang instan membuat mereka tidak peduli dan tidak mau tahu tentang terganggunya ekosistem, keseimbangan alam dan dampak lingkungan, apalagi pelestarian. Buat mereka, berada di alam bebas, yang penting harus jalan, makan, beol, tidur dan tentunya, foto-foto untuk diunggah. Foto-foto mereka inilah yang berseliweran kencang di berbagai media sosial. Segala macam pose dengan latar gunung Lompobattang terunggah menyebar tak terbendung di jutaan smartphone.

Kondisi sosial yang distorsi tersebut adalah faktor utama tercemarnya lingkungan gunung Lompobattang. Ribuan manusia yang tumpah ruah mengakibatkan sampah menumpuk dalam waktu singkat disetiap penjuru kawasan gunung. Minimnya kesadaran para pendatang untuk menangani sampahnya sendiri, membuktikan bahwa generasi "Kids jaman Now" ini pada umumnya tumbuh dengan mental tinggi hati yang sudah miring.

Gunung Lompobattang memiliki 9 shelter atau pos perhentian pada setiap ketinggian tertentu, kini berfungsi sebagai wadah penampungan sampah. Beberapa teman yang baru pulang dari pendakian observasinya, mengakui hal tersebut. Sepanjang jalur mulai pos 1 hingga pos 8, pemandangan tidak pernah luput dari sampah. Plastik bertebaran di segala penjuru, di teruk tebing, di bawah pohon, bebatuan, bahkan di setiap aliran sungai dan mata air. Dimana mata memandang, disitu ada sampah.


Lokasi favorit para pendaki di gunung Lompobattang adalah pos 9, sebuah cerukan gua di bibir tebing untuk persinggahan terakhir pendaki sebelum ke puncak. Posisinya yang berada di tempat terbuka pada ketinggian 2700, menjadi tempat yang leluasa untuk menikmati pemandangan alam gunung Lompobattang. Jika cuaca cerah, fase matahari tenggelam bisa terlihat sangat jelas. Karena kelebihannya itulah, semua pendaki betah tinggal berlama-lama di pos ini.




Lantaran menjadi pos perhentian favorit, pos 9 menampung volume sampah yang paling besar dibanding pos lainnya. Setiap sudutnya dipenuhi tumpukan sampah yang membusuk. Sialnya, sebagian besar sampah itu tidak bisa lagi dibakar, karena sudah mengendap dan menyatu dengan lumut. Kondisi itu menempatkan pos 9 sebagai tempat yang paling jorok diantara semua pos.


Fenomena sampah gunung Lompobattang yang sudah bertahun-tahun menggunung, diperkirakan sudah mencapai ratusan ton. Perkiraan mengacu pada sebuah riset yang dilakukan di gunung Rinjani menemukan ada 160,24 ton sampah yang tersebar dalam kawasannya. Angka itu sekitar 35 persen dari total sampah yang mencapai 453 ton di delapan wilayah taman nasional yang diamati.

Sampai saat ini, belum ada tindakan khusus yang berarti untuk mengantisipasi invasi sampah di Gunung Lompobattang. Kondisi tersebut akan semakin memprihatinkan karena tidak ada standar untuk memberikan solusi. Herannya, makin banyak volume sampah yang menumpuk di gunung itu, malah semakin banyak pula kaum narsis "alay" yang berdatangan. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, fenomena ini mungkin bisa diartikan,"sampah ketemu sampah".

Foto : Uhud Darmawan - Wahana Trisula

Post a Comment

0 Comments