Pertautan Suku Toraja dan Bugis dalam Sejarah Danau Sidenreng


Danau Sidenreng adalah salah satu danau tektonik peninggalan zaman prasejarah yang terletak di kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Danau ini terintegrasi dengan danau purba yakni danau Tempe di kabupaten Wajo. Kedua Danau yang posisinya berhimpitan di tengah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki karakteristik yang sama, bersifat seperti rawa, meluap di musim penghujan dan mengering di musim kemarau.

Kedalaman normal danau Sidenreng mencapai 10 - 15 m, jika pada musim kemarau, kedalamannya kurang dari 5 m. Luas genangan normal danau Sidenreng jika dipadukan dengan danau Tempe melebihi 35.000 ha.

Selain sebagai peninggalan masa prasejarah, danau Sidenreng menyimpan sejarah panjang kerajaan Sidenreng sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Sidenreng adalah salah satu kerajaan kuno di Sulawesi Selatan dan satu-satunya kerajaan tepi danau yang yang disebutkan dalam kitab Lagaligo. Menurut peneliti, Christian Pelras yang menulis buku "Manusia Bugis", Periodenya berlangsung pada abad 11 masehi.

Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang peneliti Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidenreng sebagai “...Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).

Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugis lainnya diriwayatkan pernah menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan melihat langsung keadaan tersebut pada tahun 1548 M. Pinto menyebutkan Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini, merupakan pusat aktivitas perdagangan yang dikunjungi pedagang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis yang menggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut menuju Sidenreng.” (Wicki, Documents Indica, II: 420-2).

Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, “pada kampung-kampung di tepi (danau)... berlangsung perdagangan luar negeri yang pesat. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana...Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”.

Sesuai yang tertulis dalam Lontarak, nama danau Sidenreng disebutkan pertama kali berhubungan dengan kisah 8 orang keturunan raja Sangalla dari Tana Toraja yang sepakat meninggalkan kampung halamannya. Mereka tiba disebuah tempat yang disebut Kaju, suatu tempat antara Banti di Baraka dengan Bunging Riase di Maiwa. Mereka melihat hamparan air diarah selatan lalu menuruni gunung dan akhir tiba di suatu lembah yang sebelah baratnya digenangi air yang ternyata adalah danau.

Mereka turun mencari jalan menuju ke lembah dengan saling bergandengan tangan. Dalam bahasa Bugis, bergandengan tangan disebut "Sirenreng". Sirenreng inilah yang dilakukan oleh delapan saudara keturunan raja dari Tana Toraja tersebut saat menuruni lembah untuk menuju ke danau yang mereka lihat.

Setelah memenuhi kebutuhannya dan mengamati lingkungan sekitar danau, mereka bersepakat memutuskan bahwa di danau inilah mereka tinggal dan membuat perkampungan.

Kampung di tepian danau yang mereka diami itu pun mereka namakan "Sidenreng", sebuah bentuk apresiasi dari kebersamaan mereka melakukan "sirenreng" atau bergandengan tangan ketika pertama kali mereka menemukan tempat tersebut. Tempat itu pun berkembang menjadi kerajaan tepi danau yang makmur seperti yang tercatat dalam kitab Lagaligo.

Saat ini, ekosistem danau Sidenreng mengalami ancaman sedimentasi atau pendangkalan terus menerus, terutama dari lumpur-lumpur yang setiap saat dibawa oleh puluhan sungai besar dan kecil yang bermuara ke perut danau tersebut. Pendangkalan dasar danau besar-besaran dan intensif itu yang mengakibatkan terjadinya air bah pada saat musim hujan dan meluap di 3 kabupaten sekitarnya.

Ratusan miliar dana kini dikucurkan oleh pemda kab. Wajo dan Sidrap untuk melakukan pengerukan sedimen lumpur dikedua danau yang terintegrasi itu. Rencananya, kawasan danau Sidenreng dan danau Tempe akan dijadikan objek wisata alam dan pengembangan agrikultur untuk masyarakat tepian danau.

Referensi artikel :
1. Rakyatbugis.com
2. Bululowa.blogspot.com

Foto : Yusri Junus

Post a Comment

0 Comments