Diperkirakan sekitar tahun 1500 – 1600 sudah ada terjalin kontak sosial antara orang-orang Bugis dan Bali. Dalam literatur Johny A. Khusyairi, Abd. Latif, dan Samidi di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya di telusuri proses migrasi orang-orang Bugis-Makassar ke Bali Utara. Berdasarkan tradisi dan sejarah lisan, mereka sudah berada di Bali Utara sejak abad ke-17.
Mereka bermukim di Kampung Bugis Buleleng, Penyabangan, Celukan Bawang, dan Sumberkima. Proses migrasi didorong oleh persoalan politik dan ekonomi. Persoalan politik berkaitan dengan kekalahan Makassar dan sekutunya melawan VOC pada tahun 1667/1669.
Gelombang migrasi besar-besaran terjadi saat Sulawesi Selatan dilanda kekacauan akibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar. Persoalan ekonomi juga menjadi alasan penting dalam proses migrasi tersebut. Mereka berlayar ke berbagai kawasan untuk mencari teripang dan penyu untuk dijual ke Singapura.
Dalam perjumpaan dengan orang-orang Bali yang memiliki adat- istiadat, orang-orang Bugis-Makassar tetap mampu menjaga identitas ke-Bugis-annya. Akan tetapi, terdapat beberapa aspek yang mulai hilang seperti bahasa dan rumah. Walaupun memiliki perbedaan keyakinan, orang-orang Bugis-Makassar mampu beradaptasi dengan orang-orang Bali. Bahasa dan perkawinan dengan orang Bali menjadi media untuk menjaga hubungan mereka dengan penduduk lokal.
Adanya pengakuan sejarah dan bukti peninggalan yang ditemukan menguraikan anak dari Raja Bugis di Mamuju (To Galumpang) Sulawesi Barat (- dulunya Sulawesi Selatan) menikahi Putri Raja Bali sehingga lahir seorang Pemimpin yang disegani dengan nama La Sagala Mara’dia ri Mamuju.
Peninggalan warisan pertalian budaya tersebut sampai saat ini masih dilestarikan keberadaannya di kabupaten Mamuju, sebuah keris pusaka dengan nama Badong yang merupakan warisan leluhur dari Kerajaan Bali untuk Kerajaan Bugis Mamuju menjadi simbol pertautan kekeluargaan dan budaya.
Pada waktu tertentu keris pusaka itu dikeluarkan oleh orang-orang Bugis Bali dan menempatkannya dalam suatu ritual yang disakralkan. Dalam proses ritualnya, keris diarak dari tempat persemayamnya kemudian dibawah ke tanah lapang, disana disambut dengan tarian sakral oleh orang-orang Bali yang sudah turun temurun berada di Mamuju kemudian disembahyangi dengan ritual adat Bali. Hal ini merupakan simbol pertautan budaya Bugis dan Bali
Sampai saat ini pada waktu tertentu, keluarga kerajaan di Denpasar Bali masih sering melakukan ziarah di kuburan moyang Bugis di Bali sebagai bentuk penghormatan serta hubungan kekerabatan orang – orang Bugis dan Bali. Menurut temuan sejarah, orang-orang Bugis menetap dan beranak cucu di Bali sekitar 350 tahun lalu.
Di Bali, sebuah pusaka Bugis yang dipakai dalam membela dan mempertahankan wibawa kerajaan Bali berupa Bendera dan tombak perang yang berusia ratusan tahun yang pernah dibawa dari Tanah Bugis masih tetap terpelihara dan berada di Denpasar Selatan, tepatnya di Jl. Sawerigading, Kampung Bugis Suwung Batang Kendal.
0 Comments