Haul Abah Guru Sekumpul : Lautan Energi Spiritual Kalimantan Selatan yang Dahsyat

Lautan manusia yang meluap di kota Martapura

Saya tiba di Kalimantan Selatan pada saat wilayah ini sedang bergerak menuju satu titik yang sama. Sebuah perhelatan keagamaan besar rupanya tengah berlangsung: Haul Abah Guru Sekumpul. Dalam perjalanan menuju Kota Banjarmasin, saya melihat setiap jalan tidak lagi menjadi sekadar jalur lalu lintas, melainkan aliran jutaan manusia. Desakan sesak orang berjalan, menumpang, berhenti, lalu bergerak lagi. Wajah-wajah datang dari arah yang beragam, namun dengan tujuan yang tampaknya serupa. Saya bertanya dalam hati: mau kemana orang sebanyak ini?

Jawaban itu saya peroleh setibanya di Banjarmasin. Seorang kawan memberi tahu bahwa mereka adalah para jamaah yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan ada yang datang dari luar negeri, untuk menghadiri haul Abah Guru Sekumpul—ulama kharismatik Kalimantan Selatan. Baru di titik itu saya menyadari bahwa apa yang saya saksikan bukan sekadar keramaian musiman, melainkan sebuah peristiwa sosial–spiritual berskala besar. Haul ini disebut-sebut sebagai ritual keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di Asia, dengan jumlah jamaah yang konon telah memecahkan rekor dunia.

Haul tersebut diselenggarakan di kawasan Martapura–Banjarbaru untuk memperingati wafatnya seorang ulama besar asal Kalimantan Selatan, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Guru Sekumpul. Pada awal tahun 2025 ini, haul yang digelar merupakan yang ke-20 sejak beliau wafat.

Setiap tahun, perhelatan ini selalu dipadati jamaah dari berbagai lapisan masyarakat. Jumlahnya tidak pernah berkurang, justru terus bertambah. Mereka datang dari desa-desa terpencil, kota-kota besar, hingga lintas negara. Beberapa sumber memperkirakan jumlah jamaah pada tahun 2024 mencapai sekitar tiga juta orang, dan pada penyelenggaraan tahun 2025 ini diperkirakan melebihi angka tersebut. Mereka datang tanpa undangan resmi, tanpa tiket masuk, hanya berbekal niat, cinta, dan rasa rindu—kata yang sering diucapkan, namun di sini rasanya begitu nyata.

Saya menyaksikan sendiri lautan manusia yang tumpah ruah, berdesakan di sepanjang jalan puluhan kilometer menuju lokasi haul. Euphoria massal itu membuat saya bisa merasakan energi kolektif yang sangat besar dan nyaris tak terjelaskan. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk ikut hanyut bersama arus itu.

Hal yang membuat saya tertegun, seluruh sistem pergerakan menuju lokasi haul berjalan tanpa transaksi. Transportasi disediakan secara gratis. Bus angkutan pemerintah, kendaraan milik warga, hingga berbagai moda transportasi lain terbuka untuk siapa saja. Semua gratis. Ketika saya bertanya siapa sponsor di balik perhelatan sebesar ini, tidak ada jawaban pasti. Sama sekali tidak ada baliho perusahaan. Tidak ada logo korporasi. Dan setiap tempat perhentian, selalu saja ada orang datang menghampiri dengan senyum dan isyarat tangan yang mempersilakan kita menikmati apapun yang tersaji. Gratis.

Di sepanjang perjalanan, posko-posko pelayanan bertebaran. Makanan dan minuman disediakan tanpa syarat. Ada yang membagikan nasi, ada yang menyediakan kopi, ada yang menawarkan layanan bengkel, bahan bakar, bahkan tempat menginap. Semua tersedia tanpa pertanyaan: dari mana asalmu, apa agamamu, apa statusmu. Di sini, semua orang diperlakukan sama—sebagai tamu.

Saya menginap seharian dilokasi untuk ikut merasakan luapan emosi dan cinta dari jutaan pengunjung haul ini. Saking banyaknya pengunjung, hampir tidak ada tempat lagi untuk menuju ke lokasi utamanya. Semua akses jalan tertutup rapat, penuh dengan lautan manusia. Semakin hari semakin padat hingga 3 hari berturut-turut.


Pemandangan malam hari ditengah kota Martapura

Bagi warga Kalimantan Selatan, Abah Guru Sekumpul bukan sekadar tokoh agama. Nilai-nilai hidup yang beliau ajarkan diyakini sebagai sumber keberkahan. Keyakinan itu menjelma menjadi tindakan nyata. Orang-orang berlomba-lomba memberi, bukan untuk terlihat, melainkan untuk memuliakan. Kontribusi diberikan secara sukarela, senyap, dan penuh kesadaran.

Haul Abah Guru Sekumpul menjadi ruang silaturahmi sekaligus cermin tentang kemungkinan lain dalam kehidupan sosial. Di tengah kerumunan jutaan manusia, saya tidak melihat perebutan. Yang tampak justru sebaliknya: orang-orang berebut memberi. Sebuah praktik sosial yang terasa langka di zaman ini, ketika solidaritas sering kali kalah oleh kepentingan. Di sini, tradisi itu masih hidup—bergerak pelan, namun dengan enerji sosial yang sangat kuat.

Post a Comment

0 Comments