Kampung Bugis Bali : Sejarah Kekerabatan Bugis dan Bali


Kampung Bugis merupakan salah satu saksi sejarah keberadaan agama Islam di Bali yang terletak di Pulau Serangan, sebuah pulau kecil yang terpisah dengan daratan Pulau Bali berjarak 17 Kilometer arah selatan kota Denpasar. Orang-orang Bugis yang berada di Bali Utara terkonsentrasi di dua kecamatan, yakni Kecamatan Buleleng dan Kecamatan Gerogkak.

Di Kecamatan Bululeng terdapat sebuah
kampung yang bernama Kampung Bugis,
sedangkan di Gerogkak terdapat tiga desa
dengan komunitas masyarakat Bugis yang cukup besar, yakni Desa Celukan Bawang, Desa Penyabangan, dan Desa Sumberkima. Di desa terakhir orang-orang Bugis berbaur dengan orang-orang Mandar. Paling tidak, terdapat tiga sumber yang dapat menjelaskan kehadiran orang-orang Bugis di Buleleng, yakni tradisi lisan (termasuk folklore dan toponimi), sejarah lisan, dan sumber arkeologis. Salah satu sumber lisan tentang keberadaan orang-orang Bugis di Buleleng adalah cerita rakyat.

Pada tahun 1992, James Danandjaja mengumpulkan sepuluh cerita rakyat dari Bali, yang salah satunya berjudul: “Legenda Asal-usul Nama Buleleng dan Singaraja”. Dalam cerita rakyat ini disebutkan keterkaitan antara orang-orang Bugis dengan raja Buleleng I Gusti Gede Pasekan.

Di daerah Klungkung, Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai banyak istri. Istri terakhir bernama Ni Luh Pasek yang berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Sewaktu mengandung, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya. Setelah ia melahirkan, anak itu diberi nama I Gusti Gede Pasekan.

Suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas. Orang Bugis pemilik perahu itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan,  katanya, “Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkut perahu kami, maka sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada  Tuan sebagai upahnya.” (Danandjaja,  2000: 30-31).

I Gusti Gede Pasekan berhasil melepaskan perahu yang kandas tersebut dengan menggunakan tenaga gaib. Sebagai ungkapan rasa senang atas terbebasnya perahu itu, orang Bugis pemilik perahu pun menepati janjinya untuk menyerahkan sebagian isi perahunya kepada I Gusti Gede Pasekan. Dengan pemberian tersebut, I Gusti Gede Pasekan menjadi kaya raya dan kemudian diberi gelar I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Gede Pasekan atau I Gusti Panji Sakti meluas dan menyebar ke berbagai wilayah. Ia pun mendirikan sebuah kerajaan baru di Den  Bukit.

Sekitar pertengahan abad ke-17, ibu kota kerajaan itu disebut Sukasada yang ditumbuhi dengan pohon Buleleng, sehingga pusat kerajaan baru disebut Buleleng dan di tempat itu didirikan sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja (Danandjaja, 2000: 33). Kisah yang diyakini oleh penduduk Bali sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi ini memang hendak menceritakan tentang asal-usul nama Buleleng dan Singaraja sekaligus menunjukkan bahwa kehadiran dan interaksi orang-orang Bugis dengan masyarakat di Pulau Bali sudah berlangsung lama.

Selain cerita rakyat dan ingatan yang turun-temurun tersebut, toponomi nama kampung juga menjadi sumber penting. Penamaan Kampung Bugis di sekitar Pelabuhan Buleleng menjadi bukti penting sudah dihuninya kampung tersebut selama berabad-abad oleh orang-orang Bugis. Kemampuan orang-orang Bugis mendirikan sebuah perkampungan di Buleleng disebabkan oleh kepandaiannya melakukan negosiasi dengan penguasa lokal sehingga mendapatkan izin raja untuk membangun perkampungan. Hal tersebut juga didukung oleh kemampuannya untuk menjaga hubungan baik dengan penduduk lokal.

Dalam banyak sumber disebutkan bahwa kedatangan orang-orang Bugis di Buleleng sudah terjadi sejak abad ke-17. Saat Buleleng dibawah kekuasaan I Gusti Panji Sakti, orang-orang Bugis dengan kekuatan 100 orang membantu raja dalam menyerang Blambangan pada tanggal 31 Mei 1697 (Pageh dkk., 2013: 107). Namun demikian, perkampungan tersebut beberapa kali mengalami perpindahan. Gempa bumi dan banjir pada tahun 1815 di pesisir utara Buleleng mengakibatkan hancurnya perkampungan ini, tetapi berhasil dibangun kembali. Pada tahun 1846 perkampungan tersebut kembali hancur karena dibakar oleh pasukan Belanda karena orang-orang Bugis membantu kerajaan Buleleng melawan Belanda. Akan tetapi, seperti peristiwa sebelumnya kampung ini berhasil dibangun kembali dan semakin kokoh setelah ditetapkannya Singaraja sebagai ibukota Karesidenan Bali dan Lombok pada tahun 1882 (Ginarsa, 1955: 20).

Post a Comment

0 Comments