Ronggeng Bugis : Ketika Budaya Bugis dan Sunda Menyatu


Ronggeng Bugis adalah ronggeng yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Keberadaan Ronggeng Bugis ini berawal dimasa Sunan Gunung Jati pada tahun 1470 Masehi menyatakan kemerdekaan negara Cirebon, yang terlepas dari kekuasaan Maharaja Pakuan Pajajaran. Pada saat itu, negara Cirebon memiliki pasukan Telik Sandi (Prajurit Sandi Yuda) yang melakukan kegiatan spionasi di wilayah Pajajaran untuk mengetahui reaksi dari pernyataan kedaulatan penuh negara Islam Cirebon. Pasukan tersebut merupakan yang anggotanya terdiri atas orang-orang berani, bermental kuat serta pandai menyamar. 

Menurut sumber tradisi lisan, dalam perjalanan waktu yang panjang, kerajaan Cirebon dibantu prajurit-prajurit Bugis, baik di Era Galuh, masa Portugis, maupun masa Kolonial. Keberadaan prajurit Bugis dalam waktu cukup lama telah menyebabkan mereka membentuk komunitas lengkap dengan budaya asal mereka.

Secara umum, kata ronggeng adalah penari wanita atau tandak, primadona sebagai teman menari, misalnya pada tayuban. Bugis adalah nama suku di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, pengertian Ronggeng Bugis adalah tarian yang berasal dari Bugis.

Menurut cerita, tari Ronggeng Bugis ini tercipta atau diilhami dari kisah sejarah masa lalu, saat Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Bugis, baik di era Galuh, masa Portugis, maupun masa kolonial. Ketika bantuan Kerajaan Bugis tidak diperlukan lagi, mereka kembali ke Bugis. Sebagian kecil sisanya meninggalkan diri karena telah merasa betah dan terikat perkawinan dengan orang Cirebon.

Pementasan Ronggeng Bugis diiringi oleh gamelan/waditra yang terdiri atas : kelenang, gong kecil, kendang kecil, kecrek, dan saron. Para penari semuanya laki-laki yang menggunakan kebaya berwarna menyolok dan terang. Sanggul kecil ditempelkan di belakang kepala pada posisi miring. Make up menyolok dan gambar bibir yang miring sehingga perpaduan seluruh hiasan yang digunakan memunculkan kesan lucu yang mengundang tawa. 

Tata rias dan pakaian yang digunakan tidak selamanya baku. Semua dapat berubah-ubah sesuai dengan bayangan kesan yang akan mengundang gelak tawa penonton.

Jumlah penari pada satu pementasan tidak ditentukan secara khusus. Rata-rata berjumlah antara empat sampai dengan sembilan orang. Jumlah penari akan disesuaikan dengan luas arena pertunjukkan. Tarian tersebut rata-rata memerlukan arena cukup luas karena dilakukan dengan gerakan lincah; penuh gerakan atraktif; dan dilakukan oleh beberapa penari.

Referensi : kemendikbud




Post a Comment

0 Comments