Oleh : La Yusrie
Di Tanah Luwu pada Festival Keraton Nusantara ke-13, September tahun lalu, seorang Bugis mendatangi saya, dengan ramah mengenalkan diri dan menyebut ia berdarah juga Buton.
Saya tak terkejut, karena pada catatan silsilah yang saya pelajari memang terdapat beberapa bangsawan Buton mengawini bangsawan Bugis.
Saya bahkan menimpalinya dalam canda yang kelakar dengan mengatakan kepadanya bahwa saya juga orang Bugis, Buton kan singkatan BUgis TONji.
Kami lepas tertawa, membahak disela bunyi gong yang ditalukan di sudut Istana Langkanae--Istana Datu Luwu di Palopo .
Tapi kemudian ia mulai serius, lalu merunutkan seruntunnya silsilahnya yang sampai ke Buton. Ia menyebut satu tokoh besar yang menautkannya di sana: Arung Palakka.
Saya tersentak, saya memang membaca banyak silsilah bangsawan di Buton dan benar menemukan nama Arung Palakka tertera di sana.
Sebelumnya saya mengira itu hanya sepihak klaim orang Buton belaka, tetapi begitu menemukan penerimaan dari seorang Bugis itu tentu mengejutkan.
Ia mengisahkan bagaimana dekatnya hubungan Bugis--Buton, jalinan kedekatan perkerabatan kedua negeri itu bahkan juga terbawa dalam urusan marital kawin-mawin.
Bangsawan-bangsawan Bugis--Buton saling menikahi, dan salah seorang yang terlahir dari proses marital para elite dua negeri itu adalah Arung Palakka.
Di Buton, Arung Palakka dinamai La Toondu. Ia disebut dekat dengan bangsawan trah Kumbewaha dimana La Bula yang adalah pamannya menjadi pangkal dari bangsawan yang menjadi penguasa di Kadie Holimombo.
Serpih dari kepingan rahasia terkaitnya itu memang banyak ditemukan di Holimombo, pelan ia mulai tersingkap, perlahan akan terungkap. Sungkup penutup yang menudungnya akan mulai lebar terbuka, dan isi dalamannya akan sebentar lagi kelihatan.
Di Kadie Holimombo, saya melacak dan mengumpulkan serpih keping narasi lisan lokal terkait raja Bugis Arung Palakka
Saya mulai menemukan sebuah simpul penaut dan jawaban-jawaban dari sengkarut yang rumit terhadap pertanyaan-pertanyaan pelik berikut:
(1) Mengapa Arung Palakka, raja Bugis (Bone) itu harus melarikan dirinya ke Buton dan bukan ke tempat lain? Dia bisa ke Luwu yang lebih dekat, atau ke Ternate yang lebih kuat setara Gowa?
(2) Mengapa Buton menerima bahkan kemudian melindungi pelariannya? Bukankah Buton pasti menyadari bahwa itu dapat beresiko menempatkan Buton dalam bahaya yang besar menghadapi murka Karaeng Gowa?
(3) Apa sebenarnya hubungan Arung Palakka dengan kesultanan Buton sehingga ia begitu istimewa diperlakukan dalam selama pelariannya di Buton?
(4) Kesultanan Buton terlalu besar ditaruhkan untuk seorang Arung Palakka, jika saja ia bukanlah juga seorang yang besar artinya bagi kesultanan Buton.
Rahasia itu serpihnya ada di Kadie Holimombo. Saya merekam narasi lisan kolektif orang-orang Holimombo, tempat dimana Arung Palakka pernah tinggal dalam pelariannya dan bahkan menjabat Lakina di sana.
Dan dengan itu saya semakin meyakini bahwa benarlah sebenarnya Arung Palakka ada kaitan sedarah dengan bangsawan Buton.
Holimombo adalah wilayah kadie--semacam negeri bawahan Kesultanan Buton yang dalam penguasaan anak-anak dan cucu La Kabhaura.
Sesudah La Singga menjadi penguasa paling mula di sana, kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak-anak La Bula, saudara sekandungan La Singga.
La Arafani--Sapati Baaluwu anak La Bula menjabat Lakina Holimombo sebelum diangkat menjabat Sapati di Kesultanan Buton.
Ketika La Arafani--Sapati Baaluwu diangkat menjadi Sapati di Kesultanan Buton, Syara Kesultanan Buton "menunjuk" Arung Palakka sebagai penggantinya menjadi Lakina Holimombo
Lalu siapa sebenarnya Arung Palakka dan apa hubungannya dengan La Arafani Sapati Baaluwu dan kesultanan Buton?
Dalam situasi yang sulit dan tekanan yang datang begitu hebat, tak ada tempat pulang paling nyaman dan aman dengan sepenuhnya perlindungan kecuali hanya kembali pada keluarga sendiri
Maka ketika Arung Palakka melakukan pelarian ke Buton, mungkinkah sebenarnya ia sedang pulang kampung ke "rumahnya sendiri"?
Kabanti Kanturuna Mohelana mengungkap kedekatan La Arafani Sapati Baaluwu dengan Arung Palakka tidak hanya karena mereka semusuh tetapi bahkan mempunyai hubungan biologis sedarah.
Jika benar Arung Palakka adalah cucu La Kabhaura, maka itu berarti ia bersepupu dengan La Arafani--Sapati Baaluwu, penguasa di Holimombo.
Kedua mereka begitu dekat, serupa tali berpilin dua, ditambahi admiral nyentrik Belanda Cornelis Janszoon Speellman disebutlah mereka sebagai trisula, setombak yang bermata tiga.
Merekalah bertiga yang menaklukkan Gowa dalam perang dahsyat yang panjang 1666--1669. Mereka memulai serangan besar dari selatan dengan merebut dahulu Bantaeng.
Speellman mengonsolidasi pasukan Ternate, Tidore, dan Bacan, mereka mendarat di Bantaeng pada 3 Juli 1667 dimana Arung Palakka sudah menunggu dengan 10 ribu pasukan.
Pada akhir Juli, bala bantuan dari kesultanan Buton di bawah pimpinan La Arafani--Sapati Baaluwu tiba juga di Bantaeng. La Arafani membawa 24 kapal yang memuat 1000 prajurit, di belakang mereka juga menyusul tiba lebih 3000 orang Buton.
Ketika Gowa Jatuh dan Somba Opu sepenuhnya dikuasai, Arung Palakka memang senang, tetapi kemudian malah tak tenang, ia menyampaikan ke khawatirannya kepada Speellman bagaimana kelak nasibnya jika Kompeni pulang ke Batavia dan La Arafani--Sapati Baaluwu juga kembali ke Buton.
Ia khawatir Gowa bangkit dan lalu berbalik kembali menyerangnya ketika kawan-kawan koalisinya itu telah meninggalkannya, kembali ke negeri asalnya masing-masing.
Maka dibangunlah kembali benteng yang sudah dihancurkan, dengan serdadu Belanda, Ternate, Bacan dan Buton di tempatkan di sana mengawalnya. Itulah Fort Rotterdam sekarang dimana setiap sudut sisinya dinamai negeri sekutu yang mengawal Arung Palakka
Kanturuna Mohelana menggambarkan bagaimana La Arafani--Sapati Baaluwu mengenteng benteng buatan Belanda itu, dengan mudah katanya ia bisa masuk taklukkan.
" Sayincanana okota amatangkamo
Adangiamo pancobana ambarali
Ee jogugu maipo paumbaaku
Beyu pooli uhumbuniya kota siy
Satotuuna jogugu alawanimo
Kupooli kuhumbuniya okota sii
Saincanana pada ahumbuniya
Apenduamo ambarali akooni
Ee jogugu maipo paumbaaku
Uewangia barisina kompanyia
Satotuuna jogugu alawanimo
Kuewangia moo samiya miyaku
Oambarali rouna amaleimo"
"Setelah nyata benteng sudah berdiri dan dianggap kokoh--kuat
Sudah ada kehendak mencoba dari Speellman
Wahai jogugu, coba beritahu saya
Apa mampu kamu serang benteng ini
Sebenar-benarnya jogugu menjawab
Saya dapat serang dan masuki benteng ini
Setelah nyata sudah didudukinya benteng itu
Berkata kembali Speelman
Wahai jogugu coba mari beritahu saya
Kamu lawan barisan troep kompeni
Sebenar-benarnya jogugu menjawablah
Saya lawan namun saya seorang diri
Speelman merah sudah mukanya" (dikutip dari Kanturuna Mohelana)
Paling tidak terdapat tiga benteng di Kadie Holimombo, dimana di salah satunya terdapat situs jejak Arung Palakka, seorang terdekatnya tampaknya telah dimakamkan di sana.
Ketiga benteng itu adalah benteng La Singga yang di dalamnya terdapat makam Sapati La Singga, Benteng Bherese yang di dalamnya terdapat makam yang diyakini sebagai makam Wa Ode Wau, dan Benteng Kabumbu Malanga.
Adalah Koburu Kotandu, sebuah situs lain dimana raja Bugis itu menyimpan juga jejaknya di sana. Koburu Kotandu berukuran lebar sekali dengan panjang sekira empat meter, seorang yang sangat dekat dengan Arung Palakka mungkin telah bermakam di sana.
Orang-orang di Holimombo meyakini bahwa situs makam dengan nisan yang pada batunya berbentuk serupa tanduk itu mempunyai hubungan yang dekat dengan Arung Palakka.
0 Comments