Dari desa Lembanna menuju kawasan hutan pinus lereng gunung Bawakaraeng ini butuh waktu sekitar 15-20 menit. Melewati jalur pematang kebun yang licin dan berkelok-kelok. Treking panjang naik turun cukup bikin nafas ekstra sesak dan memaksa paru2 menyempit. Saking jauhnya.
Tapi itu dulu. Tahun 90-an. Ketika akses menuju lokasi ini hanya bisa dilihat oleh segelintir orang yg memang sengaja datang untuk mendaki gunung. Tidak mudah menuju ke lokasi hutan pinus. Banyak akses jalan yang membingungkan. Salah jalan bisa nyasar ke kebun warga. Jika niatnya datang hanya untuk sekedar nongkrong. Rasanya tidak mungkin. Saking jauhnya.
Sekarang? Kondisinya sudah jauh berbeda. Berubah 360 derajat. Hutan pinus ini malah sudah bisa dilihat dari teras rumah warga yang letaknya semakin mendesak masuk kedalam kawasan pegunungan. Bahkan dari rumah tempatku menginap, hanya sekitar 300 langkah saja sudah bisa sampai. Saking dekatnya.
Akses hutan pinus Bawakaraeng terbuka bebas ketika lahan perkebunan dibuka secara besar-besaran di awal tahun 2000. Semua jalan dari desa Lembanna diperlebar hingga mobil pun bisa masuk hingga ke ujung lereng. Saat itulah pengunjung yang datang tidak terbendung lagi. Hutan pinus lereng gunung Bawakaraeng mendadak jadi wahana wisata bagi masyarakat umum. Setiap minggu, ditaksir ribuan orang datang berkunjung. Tentu saja, ekonomi desa Lembanna seketika menggeliat kencang. Hampir semua warganya ikut berebutan mengais keuntungan.
Sayangnya, Pemda setempat sepertinya tidak peka menganalisa kondisi itu. Belum ada penerapan konsep regulasi penataan serta pembinaan untuk pemberdayaan masyarakat terkait konsep wisatanya. Lihat saja, lapak-lapak jualan bermunculan yang dibangun serampangan dalam kawasan hutan. Berdiri seadanya, tidak tertata rapi dan amburadul dengan infrastruktur yang minim. Hasilnya, pemandangannya tidak sebanding dengan suasana alamnya yang indah dan alami. Tidak ada seninya. Saya malah merasa seperti berada di tengah pasar saat ngopi disalah satu lapak. Bisa dibilang inilah pasar tengah hutan. Meski serampangan, semua pengunjungnya asik2 saja, semua tampak senang saja menikmati suasana seperti itu.
Entah bagaimana bentuk sistem manajemen pengelolaan hutan pinus lereng Bawakaraeng. Belum lagi jika coba mencari tahu soal retribusi dan perizinannya. Pasti ribet dan tidak idealis. Manajemen pengelolaan yg seadanya itu biasanya karena ada oknum atau komunitas yang dominan mengeruk keuntungan disitu.
Apakah memang sudah ada terbangun koordinasi kerja yang proporsional antar instansi setempat yakni Dinas Pariwisata, Kehutanan dan KLH? entahlah. Jika melihat jejak rekam kerja pemerintah lokal, rasanya tidak mungkin semudah itu.
Setahuku, hutan pinus lereng gunung Bawakaraeng adalah wilayah kerja KSDA Sulsel. Apakah KSDA Sulsel yang berwewenang melonggarkan izin pemanfaatan lahan hutan pinus itu? Entahlah.
Warga desa Lembanna sepertinya tidak terlalu mau pusing dengan semua persoalan itu. Mereka lebih sibuk berpikir bagaimana mengembangkan lapak dagangan mereka dalam hutan pinus yang ujung-ujungnya akan menjadi tempat tinggal yang baru.
0 Comments