Lembanna : Potret Usang Desa Lereng Gunung Bawakaraeng


Tiba jam 12 malam di desa ini, saya sudah dibikin bingung dengan suasananya. Bisa-bisanya desa kecil pelosok kaki gunung sebegitu meriahnya di malam hari. Sepanjang yang saya tahu, desa ini biasanya gelap gulita kalau sudah malam. Apalagi kalau masuk jam tengah malam. Tapi ini malah terang benderang. Serasa masuk kawasan perumnas yang sumpek. Maklum, terakhir saya ke desa ini tahun 2008. Perubahannya jauh sekali dari perkiraanku. Saya melewati malam pertama ini tanpa habis pikir. 

Bangun jam 7 pagi, saya pun buru-buru keluar dari rumah membawa rasa penasaranku semalam. Seperti apa rupa desa ini. Dan tentu saja, memoriku tentang desa ini seketika menguap. Sejauh saya menelusuri jalan desa, satu pun tak ada lagi yang bisa kukenali. 

Pemandangan kabut pagi yang biasanya menggumpal di pinggiran desa kini sudah tidak ada.
Aliran air bening yang mengalir tenang di galur-galur tanah sudah tidak ada.
Riuh unggas yang berhamburan dijalan dan pematang kebun sudah tidak ada.
Tidak ada lagi gadis-gadis desa yang melintas malu-malu
Tidak ada lagi warga menyapa dengan senyum-senyum tulus namun kaku.
Rumah rumah kayu sederhana dan damai, satupun tidak ada lagi yang dijumpai.
Sepanjang jalan hingga sudut desa hanya bangunan beton semata. Terpampang kaku dan dingin.

Berstatus desa wisata, pemandangan desa ini sama sekali tidak ada unsur seninya. Mau seni gimana kalau kawasannya dibangun dengan syahwat material.


Pagi itu...
Warga desa riuh seliweran bermotor metik.
Mereka mengamati setiap pendatang dengan tatapan mata penuh selidik. Agresif siap melayani. Bagi mereka, pendatang, sudah pasti uang. Rutinitas itu menjanjikan ketimbang mengurus kebun.

Wajar... Karena mereka lebih takut dengan kesenjangan. Kondisi sosial yang telah menyusahkan mereka selama berpuluh-puluh tahun. Dan para pendatang itu adalah mangsa-mangsa yang empuk. Untuk ukuran sebuah desa terpencil, perilaku itu adalah pergeseran nilai sosial yang mengerikan.

Desa kaki gunung sederhana nan alami kini hanyalah potret usang. Hanya berupa sekelumit cerita masa lalu yang membosankan. Desa Lembanna, seperti pada umumnya desa-desa lainnya diseluruh pelosok negeri ini, membangun diri dengan cara yang liar. Mencari ruang nafas sendiri ditengah sesaknya modernisasi. 

Post a Comment

0 Comments