Di era Soeharto, pakaian Jilbab jarang sekali terlihat. Celana cingkrang tidak populer, apalagi di instansi pemerintah. Itu berangsur angsur marak setelah Soehato Jatuh.
Itu ditandai dengan bentuk pakaian, kewajiban sholat wajib di Masjid, paranoid terhadap agama lain, termasuk menolak orang islam yang tidak terpengaruh dengan politik identitas. Awalnya Jilbab diperkenalkan jenis pakaian pembeda wanita muslimah yang taat dan tidak taat.
Namun belakangan jilbab bukan hanya sekedar penutup kepala wanita, tetapi sudah sampai menentukan jenis jilbab apa yang sesuai syari dan mana yang tidak sesuai syari. Yang tidak dianggap sesuai dengan design syari walau pakai Jilbab, dianggap salah.
Waktu berlalu, Soeharto sudah lama terkubur, pakaian cingkrang tidak hanya segelintir orang tetapi sudah masuk ke instansi pemerintah. Jilbab lebar menjamur, dan kini massive diperkenalkan cadar. Para pria diharuskan memakai janggut, sebagai pembeda orang cinta rasul dan bukan. Untuk lebih meyakinkan, jidatpun disarankan agar nampak hitam sebagai tanda ahli ibadah.
Dari mereka yang terpapar paham identitas semacam itu, sholat berjamaah lima waktu di Masjid, digunakan sebagai ajang menanamkan pemahaman baru soal politik identitas; negara daulah isalmiah, khilafah, dan Pancasila bersyariah.
Provokasi menanamkan kebencian terhadap orang berbeda terjadi terus menerus. Apapun hal yang remeh bisa jadi besar kalau menyinggung identitas Islam sebagai simbol. Bahkan bendera merah putih tidak lagi sakral, Ia sudah digantikan bendera tauhid. Penusuk Pak Wiranto itu lulusan Universitas Sumatera Utara, termasuk universitas bergengsi, tapi dia jadi bigot.
Banyak orang jadi bigot yang siap mati menjadi martir demi membela politik identitas, padahal mereka termasuk orang terdidik. 90% pendukung HTI adalah para mahasiswa di kampus terbaik dan lulusan universitas terbaik yang dibiaya oleh APBN.
Bahkan MUI juga sudah terjebak Politik identitas. Sukses menjatuhkan Ahok dan menaikan ABAS etnis Yaman sebagi Gubernur DKI.
Kini politik identitas semakin punya pengaruh significant. Ya semakin lama semakin renta persatuan negeri ini. Mereka dengan terang terangan berani mempertanyakan eksistensi Pancasila. Mereka juga dengan gamblang menentang politik pluralisme.
PKS memang partai yang berkembang karena identitas islam. Itu hanya 8% suaranya. Tetapi banyak partai sekular juga mendukung politik identitas, bukan karena mereka orang taat tetapi karena mereka ingin menangguk keuntungan dari kaum radikal untuk menang dalam Pilkada ataupun pemilu.
Bahkan AS menjadikan mereka sebagai proxy untuk melemahkan pemerintah yang tidak loyal terhadap geopolitik AS. Banyak oknum TNI yang secara diam diam, mendukung mereka, agar anggaran Pertahanan naik terus.
HTI memperkirakan tahun 2020, Indonesia tumbang dan khilafah akan bangkit mencapai kemenangan. Mereka yakin. Ditengah situasi ekonomi yang semakin sulit, mereka semakin mempunyai amunisi mengembangkan narasi bahwa semua karena pemerintah thogut, tidak berjalan sesuai dengan syariah islam.
Orang yang hidup tertekan karena ekonomi yang tidak secure, kehidupan sex yang buruk, sakit hati karena kecemburuan sosial akibat rasio GINI terus melebar, akan mudah sekali tersulut menjadi kayu bakar. Ini ancama serius.
Dan Menko Polkam engga menyadari hal ini dan sibuk meladeni wacana di media massa. Semakin mereka ditaggapi semakin militan pendukung mereka. Kontraproduktif untuk politik persatuan dan stabilitas keamanan.
Apa yang terjadi di Xinjiang terhadap muslim Uighur juga sama dengan terjadi di Indonesia. Berpuluh tahun elite dari etnis uighur membangun politik identitas, yang semakin lama semua berbeda dengan etnis lainnya.
Identitas Islam semakin mendapat tempat di etnis Uighur. Mereka sangat ekslusif. Mereka juga tidak ingin membaur dengan entnis lain yang beragama islam. Saat itulah politik identitas berubah menjadi politik kekerasan lewat teror dan amuk massa. Berpuluh tahun aksi itu dihadapi dengan kekerasan juga oleh China, tetapi tidak berhasil memadamkan api.
Karena itulah China menerapkan program deradikalisasi. Ini program yang sangat mahal. Karena melakukan perubahan mental mereka yang terpapar politik identitas dan mengisolasi mereka dari pengaruh politik identitas lewat program pendidikan, itu mahal sekali.
Tetapi bagi China ongkos mahal itu tidak ada artinya dibandingkan dengan ongkos membiayai Polisi dan tentara memerangi mereka. Hasilnya dalam tiga tahun, Xinjiang sudah aman. Kehidupan ekonomi dan sosial mulai bergairah dan mereka punya hope tanpa bermimpi lagi ingin mendirikan negara islam di Xinjiang.
Lantas mana program deradikalisasi yang dulu pernah didengungkan Indonesia di era periode pertama Jokowi berkuasa.?
Apakah takut? takut di demo seperti mereka mendemo China?
(sumber: Babo EJB)
0 Comments