LONGSORAN KALDERA BAWAKARAENG, TERBESAR DI DUNIA DI ABAD 21


Bencana sedimen seperti aliran debris, kegagalan lereng dan tanah longsor adalah salah satu jenis bencana yang dihadapi di Indonesia setiap tahunnya. Dalam sepuluh tahun ini, jumlah kejadian dan korban yang ditimbulkan cenderung meningkat. 

Di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, bencana sedimen menjadi isu penting untuk mitigasi terutama sejak tahun 2004. Kejadian tanah longsor diikuti aliran debris yang terjadi di Kaldera gunung Bawakaraeng, diketahui menghasilkan volume longsor sekitar 232 juta m3 (Harnawir and Kubota, 2011). Volume tanah longsor yang dihasilkan tersebut menjadikan tanah longsor kaldera Bawakaraeng tercatat sebagai salah satu kejadian tanah longsor yang paling besar di dunia di abad 21 ini. Tanah longsor tersebut disebabkan oleh runtuhnya dinding kaldera. Bencana ini mengakibatkan puluhan orang meninggal, kerusakan pada berbagai infrastruktur dan dampak buruk pada lingkungan.

Tragedi longsoran gunung Bawakareng menyebabkan 6.333 orang dievakuasi, mengubur permukiman, ladang, sawah, ternak penduduk, dan meruntuhkan jembatan yang membentang di Sungai Jeneberang. Sekitar 635 ekor ternak sapi dinyatakan hilang terkubur bersama longsoran. Seluas 1.500 hektare kawasan pertanian juga ikut ludes. Sawah-sawah yang berada di sisi Sungai Jeneberang tergerus sedimen longsor (debris). Banyak warga kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan pekebun.


Sebagian besar lereng runtuh/tanah longsor dipicu oleh curah hujan ekstrim, sejumlah peneliti mencoba untuk menentukan ambang batas curah hujan untuk bencana sedimen di Kaldera Bawakaraeng, dimana ambang batas ini didefinisikan sebagai tingkat di mana batas curah hujan (intensitas-durasi) akan menyebabkan tanah longsor atau aliran debris dapat terjadi.

Kondisi vegetasi gunung Bawakaraeng terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman yang didominasi oleh jenis pinus merkusi. Morfologi Kaldera Bawakaraeng ditandai dengan lereng yang curam, tingkat pelapukan yang tinggi dengan aktivitas erosi seperti gerakan tanah dan tanah longsor. Geologi menunjukkan bahwa kaldera Bawakaraeng dihasilkan dari aktivitas gunung berapi pada periode Pleistosen.

Setelah dinding kaldera Gunung Bawakaraeng runtuh, pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan pemerintah Jepang untuk mengendalikan dampak longsoran tersebut. Proyek yang diberi nama Urgent Disaster Reduction Project for Mountain Bawakaraeng (UDRPMB) ini mendapat pinjaman lunak (Soft loan) dari Jepang. 

Pengendalian pascalongsor ini sangat urgen dilakukan untuk menyelamatkan jiwa manusia dari ancaman aliran debris, khususnya pada musim hujan. Selain itu, pekerjaan pengendalian ini diharapkan mampu mengurangi sedimentasi yang  mengalir masuk ke Bendungan Bili-bili. Pemerintah Jepang menyambut positif tawaran Indonesia untuk bersama-sama mengatasi masalah tersebut.

(referensi : Sains Indonesia)

Post a Comment

0 Comments