Gunung Bawakaraeng adalah sebuah gunung di Sulawesi Selatan yang merupakan rangkaian pegunungan taman nasional Gunung Lompobattang. Letaknya berada di kabupaten Gowa yang membentang hingga ke perbatasan 3 kabupaten yakni Jeneponto, Bantaeng dan Sinjai. Pesona alam gunung Bawakaraeng menampilkan keelokan hutan tropis dengan berbagai kisah legenda yang hingga saat ini tetap dilestarikan oleh masyarakat pegunungan.
Dibeberapa puncak gunung Bawakaraeng banyak terdapat tumpukan batuan gunung besar yang tersusun rapi dan dipercaya penduduk setempat merupakan tempat pemakaman kuno. Orang-orang yang mengenal legenda Gunung Bawakaraeng secara turun temurun sangat menghormati keberadaannya sehingga seringkali ditemukan adanya ritual-ritual khusus sebagai pelestarian tradisi leluhurnya.
Gunung Bawakaraeng juga diyakini memiliki pusaran energi sakral yang sangat besar dimana dahulunya merupakan tempat pilihan bagi para wali untuk mempermantap ilmunya. Secara harfiah Bawakaraeng artinya Mulut (bawa) Sang Pencipta (karaeng), dan nama ini pula yang menyuburkan berbagai kisah mistik serta kepercayaan animisme.
Tidak ada literatur yang pasti mengapa gunung ini diberi nama seperti itu. Sumbernya berasal dari cerita rakyat yang memuat kisah bahwa pada zaman dahulu ketika masa kerajaan Gowa masih berjaya ada seorang tokoh agama yang akan beribadah haji ke tanah suci melalui puncak Bawakaraeng dibantu tuntunan malaikat. Versi lain menceritakan pada masa lampau ada seorang tokoh besar yang sangat ingin naik haji, lalu dia mendapatkan bisikan gaib untuk mendaki puncak Bawakaraeng sebagai ganti hajinya.
Legenda itu menjadi dogma yang diyakini oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan secara turun temurun sehingga masih banyak orang yang ingin pergi naik haji diatas puncak gunung Bawakaraeng. Mereka menghormati kejadian gaib dan mistik dari berbagai kisah tersebut. Tradisi ritual itu pun oleh masyarakat Gowa disebut Patuntung yang diperkirakan bermakna "tuntunan".
Paham Patuntung menjadi bagian dari tradisi kemudian oleh penganutnya diperingati sebagai ritual tahunan. Seiring waktu, konsep ritual itu pun dilebur kedalam pemahaman Islam. Pelaksanan ritualnya dilakukan bersamaan dengan perayaan hari Idul Adha atau menjelang bulan puasa Ramadhan sehingga keberadaannya tetap dilestarikan oleh masyarakat dibeberapa wilayah sulawesi selatan.
Perhelatan ritualnya tidak dilakukan secara serempak seperti proses berhaji pada umumnya tapi tergantung dari tata cara yang dilakukan oleh masing-masing leluhurnya. Ketika ritual dilaksanakan, rombongan penganutnya ditemukan berjalan terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak ada kriteria dalam kelompok yang mewajibkan fisik mesti kuat. Ada orang tua, ibu-ibu bahkan anak kecil ikut dalam rombongan. Selain penduduk sekitar wilayah Kabupaten Gowa yang dominan, ada kelompok yang berasal dari Makassar, Maros, Pangkep, Sengkang bahkan dari Mamuju Sulawesi Barat.
Pengakuan para penganutnya bahwa ritual Patuntung ini dilaksanakan sebenarnya tidak untuk menjadi “haji”, tapi semata-mata merupakan bentuk ibadah untuk memohon keselamatan, rezeki dan juga permintaan khusus lainnya kepada yang maha kuasa. Padahal dalam ajaran agama Islam, segala bentuk kegiatan persembahan atau pemujaan diluar ketentuan syariat adalah haram hukumnya. Namun para penganut ritual gunung Bawakaraeng ini menganggpap bahwa tradisi ritual mereka sudah lama terasimilasi kedalam konsep syariat Islam.
Para penganut ritual yang konservatif biasanya kadang membawa persembahan yang dipersiapkan sesuai dengan permohonan doa masing-masing. Ada yang mempersembahkan songkolo’ (beras ketan), lontong, telur, buah-buahan, ayam atau kambing. Pelaksanaan ibadahnya bisa dipandang sebagai wujud penyatuan kepercayaan kuno, ritual mistik, dan ajaran Islam yang umumnya masih ditemukan dalam komunitas tertentu di berbagai daerah di Indonesia.
Para penganut ritual ini sebenarnya mengakui bahwa pemahaman ritual mereka tidak bisa disamakan dengan naik haji seperti lazimnya umat muslim ke tanah suci Mekkah namun gunung Bawakaraeng dijadikan sebagai media untuk mempertebal keyakinan mereka terhadap sang pencipta dan bisa lebih mendekatkan diri. Pada dasarnya mereka naik ke gunung untuk bersembahyang dan berkurban seperti pada umumnya orang yang lebaran di lapangan terbuka.
Rombongan yang datang melakukan ritual ini terdiri dari berbagai usia, mulai anak kecil sampai orang tua yang sudah renta. Fasilitas yang mereka gunakan tidak layak dan sangat beresiko untuk melakukan sebuah perjalanan pendakian. Perlengkapan mereka seadanya saja bahkan beberapa orang tidak menggunakan alas kaki. Tubuh mereka hanya dibungkus dengan kain sarung tipis untuk menahan udara dingin gunung yang sangat menusuk tulang. Seringkali dalam kelompok itu ada seorang nenek tua yang harus dibopong menuruni lembah-lembah yang curam. Betapa sakralnya ritual yang mereka yakini itu sehingga mereka begitu gigih menantang kondisi alam pegunungan dengan taruhan nyawa. Tidak heran jika gunung Bawakaraeng sering menelan korban terutama jika cuaca dalam kondisi ekstrem dibulan Februari hingga April.
Pemerintah Sulawesi selatan telah mengeluarkan larangan keras bagi penduduk yang akan melakukan ritual ini mengingat setiap tahunnya terjadi kecelakaan dan banyak memakan korban. Semua kasus yang terjadi pada umumnya karena kedinginan atau terjatuh kedalam jurang diakibatkan tidak memadainya fasilitas dan sarana yang mereka gunakan. Namun kondisi itu tidak menyurutkan semangat ibadah para penganut ritual tersebut. Mereka tidak peduli dengan aturan pemerintah apalagi gentar dengan cuaca yang ekstrem.
Untuk mengantisipasi kejadian tersebut pemerintah Sulawesi Selatan bekerjasama dengan aparat bersiaga melakukan blokade penuh untuk menjaga semua jalan masuk kedalam wilayah pegunungan jika waktu ritual itu tiba. Meskipun begitu, masih saja ada jalan bagi para pendatang itu untuk tetap menjalankan ritualnya dengan melalui jalan-jalan yang tentunya beresiko tinggi. Dan sudah pasti akan terjadi lagi, korban kembali berjatuhan dengan kasus yang sama.
Kontradiksi memang dimana pemerintah Sulawesi Selatan harus menjaga keamanan penduduk dengan membatasi bahkan sebisa mungkin menghentikan pelaksanaan ritual ini namun disisi lain ritual ini juga merupakan refleksi sejarah tradisi dan budaya yang masih dilestarikan masyarakat tertentu. Alasan yang paling logis untuk menetralisir kondisi ini adalah ketika keputusan untuk menghentikan ritual Bawakaraeng harus didasari dari pertimbangan agama. Adalah sebuah pilihan, apakah melestarikan warisan tradisi dan budaya leluhur harus mengorbankan pemahaman agama Islam ataukah tetap melestarikan budaya itu dengan mengkombinasikan pemahaman Islam dengan pemahaman budaya tradisi? Tak akan pernah terjawab jika harus mencarinya melalui logika.
(foto: Seniman Film Indonesia)
Dibeberapa puncak gunung Bawakaraeng banyak terdapat tumpukan batuan gunung besar yang tersusun rapi dan dipercaya penduduk setempat merupakan tempat pemakaman kuno. Orang-orang yang mengenal legenda Gunung Bawakaraeng secara turun temurun sangat menghormati keberadaannya sehingga seringkali ditemukan adanya ritual-ritual khusus sebagai pelestarian tradisi leluhurnya.
Gunung Bawakaraeng juga diyakini memiliki pusaran energi sakral yang sangat besar dimana dahulunya merupakan tempat pilihan bagi para wali untuk mempermantap ilmunya. Secara harfiah Bawakaraeng artinya Mulut (bawa) Sang Pencipta (karaeng), dan nama ini pula yang menyuburkan berbagai kisah mistik serta kepercayaan animisme.
Tidak ada literatur yang pasti mengapa gunung ini diberi nama seperti itu. Sumbernya berasal dari cerita rakyat yang memuat kisah bahwa pada zaman dahulu ketika masa kerajaan Gowa masih berjaya ada seorang tokoh agama yang akan beribadah haji ke tanah suci melalui puncak Bawakaraeng dibantu tuntunan malaikat. Versi lain menceritakan pada masa lampau ada seorang tokoh besar yang sangat ingin naik haji, lalu dia mendapatkan bisikan gaib untuk mendaki puncak Bawakaraeng sebagai ganti hajinya.
Legenda itu menjadi dogma yang diyakini oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan secara turun temurun sehingga masih banyak orang yang ingin pergi naik haji diatas puncak gunung Bawakaraeng. Mereka menghormati kejadian gaib dan mistik dari berbagai kisah tersebut. Tradisi ritual itu pun oleh masyarakat Gowa disebut Patuntung yang diperkirakan bermakna "tuntunan".
Paham Patuntung menjadi bagian dari tradisi kemudian oleh penganutnya diperingati sebagai ritual tahunan. Seiring waktu, konsep ritual itu pun dilebur kedalam pemahaman Islam. Pelaksanan ritualnya dilakukan bersamaan dengan perayaan hari Idul Adha atau menjelang bulan puasa Ramadhan sehingga keberadaannya tetap dilestarikan oleh masyarakat dibeberapa wilayah sulawesi selatan.
Perhelatan ritualnya tidak dilakukan secara serempak seperti proses berhaji pada umumnya tapi tergantung dari tata cara yang dilakukan oleh masing-masing leluhurnya. Ketika ritual dilaksanakan, rombongan penganutnya ditemukan berjalan terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak ada kriteria dalam kelompok yang mewajibkan fisik mesti kuat. Ada orang tua, ibu-ibu bahkan anak kecil ikut dalam rombongan. Selain penduduk sekitar wilayah Kabupaten Gowa yang dominan, ada kelompok yang berasal dari Makassar, Maros, Pangkep, Sengkang bahkan dari Mamuju Sulawesi Barat.
Pengakuan para penganutnya bahwa ritual Patuntung ini dilaksanakan sebenarnya tidak untuk menjadi “haji”, tapi semata-mata merupakan bentuk ibadah untuk memohon keselamatan, rezeki dan juga permintaan khusus lainnya kepada yang maha kuasa. Padahal dalam ajaran agama Islam, segala bentuk kegiatan persembahan atau pemujaan diluar ketentuan syariat adalah haram hukumnya. Namun para penganut ritual gunung Bawakaraeng ini menganggpap bahwa tradisi ritual mereka sudah lama terasimilasi kedalam konsep syariat Islam.
Para penganut ritual yang konservatif biasanya kadang membawa persembahan yang dipersiapkan sesuai dengan permohonan doa masing-masing. Ada yang mempersembahkan songkolo’ (beras ketan), lontong, telur, buah-buahan, ayam atau kambing. Pelaksanaan ibadahnya bisa dipandang sebagai wujud penyatuan kepercayaan kuno, ritual mistik, dan ajaran Islam yang umumnya masih ditemukan dalam komunitas tertentu di berbagai daerah di Indonesia.
Para penganut ritual ini sebenarnya mengakui bahwa pemahaman ritual mereka tidak bisa disamakan dengan naik haji seperti lazimnya umat muslim ke tanah suci Mekkah namun gunung Bawakaraeng dijadikan sebagai media untuk mempertebal keyakinan mereka terhadap sang pencipta dan bisa lebih mendekatkan diri. Pada dasarnya mereka naik ke gunung untuk bersembahyang dan berkurban seperti pada umumnya orang yang lebaran di lapangan terbuka.
Rombongan yang datang melakukan ritual ini terdiri dari berbagai usia, mulai anak kecil sampai orang tua yang sudah renta. Fasilitas yang mereka gunakan tidak layak dan sangat beresiko untuk melakukan sebuah perjalanan pendakian. Perlengkapan mereka seadanya saja bahkan beberapa orang tidak menggunakan alas kaki. Tubuh mereka hanya dibungkus dengan kain sarung tipis untuk menahan udara dingin gunung yang sangat menusuk tulang. Seringkali dalam kelompok itu ada seorang nenek tua yang harus dibopong menuruni lembah-lembah yang curam. Betapa sakralnya ritual yang mereka yakini itu sehingga mereka begitu gigih menantang kondisi alam pegunungan dengan taruhan nyawa. Tidak heran jika gunung Bawakaraeng sering menelan korban terutama jika cuaca dalam kondisi ekstrem dibulan Februari hingga April.
Pemerintah Sulawesi selatan telah mengeluarkan larangan keras bagi penduduk yang akan melakukan ritual ini mengingat setiap tahunnya terjadi kecelakaan dan banyak memakan korban. Semua kasus yang terjadi pada umumnya karena kedinginan atau terjatuh kedalam jurang diakibatkan tidak memadainya fasilitas dan sarana yang mereka gunakan. Namun kondisi itu tidak menyurutkan semangat ibadah para penganut ritual tersebut. Mereka tidak peduli dengan aturan pemerintah apalagi gentar dengan cuaca yang ekstrem.
Untuk mengantisipasi kejadian tersebut pemerintah Sulawesi Selatan bekerjasama dengan aparat bersiaga melakukan blokade penuh untuk menjaga semua jalan masuk kedalam wilayah pegunungan jika waktu ritual itu tiba. Meskipun begitu, masih saja ada jalan bagi para pendatang itu untuk tetap menjalankan ritualnya dengan melalui jalan-jalan yang tentunya beresiko tinggi. Dan sudah pasti akan terjadi lagi, korban kembali berjatuhan dengan kasus yang sama.
Kontradiksi memang dimana pemerintah Sulawesi Selatan harus menjaga keamanan penduduk dengan membatasi bahkan sebisa mungkin menghentikan pelaksanaan ritual ini namun disisi lain ritual ini juga merupakan refleksi sejarah tradisi dan budaya yang masih dilestarikan masyarakat tertentu. Alasan yang paling logis untuk menetralisir kondisi ini adalah ketika keputusan untuk menghentikan ritual Bawakaraeng harus didasari dari pertimbangan agama. Adalah sebuah pilihan, apakah melestarikan warisan tradisi dan budaya leluhur harus mengorbankan pemahaman agama Islam ataukah tetap melestarikan budaya itu dengan mengkombinasikan pemahaman Islam dengan pemahaman budaya tradisi? Tak akan pernah terjawab jika harus mencarinya melalui logika.
(foto: Seniman Film Indonesia)
0 Comments