Lungga (nama Samaran) tersentak bangun di pagi lembab yang basah. Nafasnya menghembuskan uap sisa panas tubuhnya yang semalam mendekam menjaga kehangatannya. Dari balik rerimbunan pohon, ia melihat Ayah, Ibu dan saudara-saudaranya celingukan dan gelisah. Entah apa gerangan yang membuat pagi temaram yang sunyi ini terasa mencekam. Sebelumnya, Lungga mendengar dentuman keras dari balik hutan. Gemanya membahana menggetarkan tanah dan pepohonan. Keanehan pagi itu yang membuatnya terbangun kaget, gidiknya merinding. Apa kiranya yang ada dibalik sana?
Sebelum Lungga turun dari peraduannya, kembali membahana dentuman… BUMM!!! Kali ini, suaranya lebih menggelegar. Suara pohon-pohon berderak dan gemuruh bebatuan seperti langit yang mau runtuh. Bahananya membuat seisi hutan gempar. Lungga sudah tahu, kejadian ini jelas bukan dari hutan tempat tinggalnya. Ini ancaman serius. Keluarganya panik, bapaknya mulai meraung, menepuk-nepuk dadanya, ibunya memekik, memberi peringatan kepada saudara dan adik-adik kecilnya yang sudah mulai ketakutan. Tangan Lungga yang basah dengan cepat meraih beberapa akar pohon dan segera meluncur turun dari tempatnya, ia panik. Matanya berputar mencari tahu. Semakin panik ia ketika semua tetangganya sudah berhamburan keluar dari huniannya. Dentuman aneh yang menakutkan itu, bunyinya berat, dahsyat dan menakutkan.
Ekor mata Lungga menangkap sosok ayahnya bergerak cepat memanjat sebuah pohon yang tinggi. Sebagai pewaris pelindung keluarga, Lungga menggulingkan tubuhnya kesana kemari menandai area perlindungan untuk keluarganya. Ia yakin keadaan ini berbahaya bagi keluarganya. Ini ancaman serius meski tidak ia pahami sama sekali. Ia berharap ayahnya segera mencari tahu, dan seperti biasa akan diselesaikan secepatnya. Mereka bisa kembali merasa aman.
BUMM…!!!! kembali membahana dentuman keras yang menakutkan itu. Seisi penghuni kawasan tempatnya kini menjerit dengan hebat. Mengerikan karena dentuman itu kini dibarengi hujan batu dan debu tebal yang pekat. Ibu dan semua saudaranya lari ketakutan, menyebar kesegala arah. Ayah Lungga yang sedang berada di puncak pohon terbanting jatuh akibat goncangan hebat yang entah datang darimana. Pohon-pohon besar tumbang saling bertindih, mendebam satu persatu ketanah, mengeluarkan suara mengerikan. Kegaduhan dahsyat yang baru kali ini dialami Lungga seumur hidupnya. Ibu, saudara dan adik-adiknya sudah melarikan diri entah kemana.
Lungga berlari dan melompat menghindari batang-batang pohon besar yang jatuh bergelimpangan disertai hujan batu. Diselimuti rasa takut dan bingung, ia pun memanjat dan mencoba menerobos kabut bercampur hujan debu untuk mencari ayahnya. Ia meraung keras dan ketakutan ketika melihat hutan dibawahnya porak poranda. Dalam kepanikan, ia bergelantungan tak tentu arah, kebingungan, dimana gerangan sang ayah. Ia pun meraung, keras sekali. Namun raungan Lungga ditelan oleh gemuruh batuan runtuh, gemeretak batang pohon tumbang dan jeritan makhluk disekelilingnya. Hutan ini menjadi sangat menakutkan. Hanya nampak debu yang menyesakkan, membutakan matanya. Instink alaminya mengingatkan, ia sudah kehilangan ayahnya.
Lungga berlari dan melompat menghindari batang-batang pohon besar yang jatuh bergelimpangan disertai hujan batu. Diselimuti rasa takut dan bingung, ia pun memanjat dan mencoba menerobos kabut bercampur hujan debu untuk mencari ayahnya. Ia meraung keras dan ketakutan ketika melihat hutan dibawahnya porak poranda. Dalam kepanikan, ia bergelantungan tak tentu arah, kebingungan, dimana gerangan sang ayah. Ia pun meraung, keras sekali. Namun raungan Lungga ditelan oleh gemuruh batuan runtuh, gemeretak batang pohon tumbang dan jeritan makhluk disekelilingnya. Hutan ini menjadi sangat menakutkan. Hanya nampak debu yang menyesakkan, membutakan matanya. Instink alaminya mengingatkan, ia sudah kehilangan ayahnya.
Belum hilang ketakutannya, muncul suara geraman berat dari arah belakangnya. Samar-samar ditengah pekatnya debu, Lungga melihat sebuah benda besar bertubuh kokoh berjalan pelan mengobrak abrik hutan yang sudah porak poranda. Semua yang ada dihadapannya dilindas dengan mudah. Dibuat remuk. Raungan suaranya berat menakutkan.
Tanpa pikir panjang, Lungga meloncat ke rerimbunan pohon, menyelamatkan dirinya. Dalam kebingungan, tanpa arah, ia terus meloncati batang pohon demi pohon, menjauhi kawasan menakutkan itu. Entah sejauh mana ia masuk kedalam hutan, namun bayangan bebatuan longsor, pohon-pohon tumbang dan debu pekat yang menyesakkan seperti mengikutinya terus. Dentuman dan jeritan terus menerus menggema dikepalanya.
Lungga terhenti dalam sebuah kawasan ceruk batu yang tidak dikenalnya, bersembunyi dalam kegelapan, ia memeluk tubuhnya sendiri, matanya basah oleh air mata, ia sedih dan ketakutan. Dimana ayahnya…? dimana keluarganya….? Apa gerangan yang terjadi dan sangat menakutkan itu..? kenapa bebatuan itu sampai berjatuhan? kenapa pohon-pohon itu tumbang? dalam sekejap Lungga kehilangan segalanya ditengah pagi temaram yang dingin.
(Kisah kehidupan Macaca Maura di hutan lindung kawasan pabrik semen Pangkep - Maros)
0 Comments