Perahu sandeq sangat masyhur sebagai warisan kebudayaan bahari Masyarakat Mandar yang sukses mempresentasikan budaya lokal bahari Sulawesi Barat hingga ke mancanegara. Tercatat dalam perhelatan festivalnya yang populer dengan nama Sandeq Race sejak digelar tahun 1997, telah menciptakan momen budaya bahari yang paling fenomenal sepanjang sejarah kegiatan maritim di Indonesia. Sama halnya dengan perahu Pinisi, perahu Sandeq adalah salah satu warisan budaya nasional yang mampu memberikan kontribusi besar mengangkat citra Indonesia ke forum budaya bahari tertinggi dalam ketatnya persaingan industri dunia pariwisata global.
Sejak awal perhelatannya, Sandeq Race telah menuai banyak pujian dan apresiasi dari berbagai media nasional dan media internasional. Bahkan beberapa produsen film asing dari berbagai negara ikut memproduksi filmnya dalam format dokumenter. Promosi Sandeq race dinilai sukses menarik perhatian dunia dan mengangkat kearifan lokal budaya Sulawesi Barat ke jenjang tertinggi pariwisata nasional.
Kesuksesan Sandeq race mempromosikan budaya lokal bahari Sulawesi Barat tidak terlepas dari peran dan jasa besar seorang peneliti Jerman bernama Horst Hibertus Liebner, seorang ilmuan budaya maritim yang puluhan tahun menghabiskan hidupnya di Makassar. Kegigihannya menekuni sejarah perahu Sandeq membuka mata masyarakat Mandar untuk mencintai kembali budaya leluhurnya.
Pada dasarnya, perahu sandeq sebenarnya sudah punah. Kepunahan sandeq disebabkan pilihan nelayan yang saat ini lebih memilih beralih ke kapal motor. Dalam kondisi tersebut, Horst muncul di tanah Mandar dengan misi penelitian baharinya. Melalui penelitian dan proses sosialisasinya selama bertahun-tahun, ia membuka wawasan masyarakat Sulbar mengenai perahu Sandeq sebagai aset keunggulan budaya bahari suku Mandar.
Tahun 1996 Horst bersama Korps Pecinta Alam Universitas Hasanuddin akhirnya membuktikan keunggulan perahu Sandeq dalam proyek ekspedisi pelayaran internasional ke Sabah, Brunei Darussalam, Sarawak, dan Jakarta, dengan menggunakan dua perahu sandeq.
Tahun 1996 Horst bersama Korps Pecinta Alam Universitas Hasanuddin akhirnya membuktikan keunggulan perahu Sandeq dalam proyek ekspedisi pelayaran internasional ke Sabah, Brunei Darussalam, Sarawak, dan Jakarta, dengan menggunakan dua perahu sandeq.
Tidak selesai dengan itu, Horst bersama Christian Pelras (penulis buku Manusia Bugis), juga membantu promosi sandeq ke luar negeri. Untuk pertama kalinya sandeq diboyong ke Eropa guna menjadi maskot Pameran Maritim 1997 di Museum Nasional D’historie Naturalle Paris, Perancis dengan tema “Dari Pulau ke Pulau”. Di halaman museum nasional Eropa tersebut, sandeq menjadi point of interest dari 25 Februari 1997 sampai 6 Januari 1998. (sumber: ridwanmandar.blogspot.co.id)
Peranan Horst membumikan perahu Sandeq semakin kuat ketika ia mempelopori even Sandeq Race. Melalui even inilah, publik bisa melihat langsung bagaimana ketangguhan perahu khas Mandar ini menaklukkan ombak laut, melewati selat demi selat sejauh ratusan kilometer hingga ke Makassar Sulawesi Selatan. Dari tahun ke tahun setiap bulan Agustus, perhelatan Sandeq race telah membuka mata dunia bahari nasional dan internasional kendati dari sisi manajemen pengelolaannya masih terus dilakukan pembenahan. Eksistensi perahu Sandeq pun semakin mendunia.
Tahun 2011, popularitas Sandeq Race mulai menuai polemik. Intervensi berbagai pihak dari aparat pemerintah daerah dan elemen lembaga masyarakat lokal mulai bermunculan membawa semangat egosentris dengan dalih bahwa budaya Sandeq adalah milik masyarakat Sulawesi Barat, maka pelaksanaannya pun harus di wilayahnya sendiri. Tahun 2012, semua kebijakan hingga pendanaan dikendalikan langsung oleh aparat pemerintah daerah. Pengelolaan even yang selama ini masih berbenah kemudian diambil alih oleh pihak dengan standar pemahaman even yang seadanya. Pengalihan tersebut mengakibatkan pelaksanaan Sandeq Race berjalan dengan manajemen yang amburadul. Partisipasi masyarakat pun semakin berkurang.
Kendati pelaksanaannya tetap dipaksakan ditanahnya sendiri, even Sandeq Race tak lebih daripada sekedar kegiatan pesta rakyat agustusan semata. Hanya dinikmati segelintir orang yang kebingungan. Sandeq Race telah kehilangan tuah. Ia surut dan tenggelam meninggalkan berbagai persoalan sosial yang melukai harapan dan tujuan luhurnya.
Sekian tahun terpuruk, tahun 2017, beberapa aktivis budaya di Sulawesi Barat mulai membangun bekerjasama dan berinisiatif untuk membangkitkan kembali momen kebesaran Sandeq Race. Horst pun bersedia untuk kembali menata manajemen operasionalnya yang selama ini dianggap gagal.
Dalam masa proses persiapan Sandeq Race 2017, gubernur yang baru terpilih, Ali Baal Masdar telah memastikan dukungan penuh pemerintah provinsi Sulawesi Barat untuk ikut menyukseskan pelaksanaannya. Ia bahkan menjanjikan dana operasional sebesar 2 milyar rupiah.
Jumlah dana operasional Sandeq Race 2017 yang cukup besar (dan menggiurkan) itu kembali menimbulkan masalah klasik. Menjelang penyelenggaraan, pencairan dana menjadi rumit karena tiba-tiba ada pergantian susunan kepanitian resmi secara mendadak. Terjadinya proses manajemen yang tidak sehat tersebut, pihak panitia penyelenggara memastikan ada konspirasi yang ingin mengatur alokasi pendanaan. Lantaran tidak adanya perhatian serius dari penentu kebijakan, semua pihak panitia mengajukan pengunduran diri secara resmi dan tidak ikut bertanggungjawab dengan sistem pengelolaan dana yang membingungkan itu.
Dalam kekisruhan tersebut, sekelompok orang tetap memastikan pelaksanaan Sandeq Race 2017 tetap dilanjutkan karena dana sudah terlanjur digelontorkan. Mereka tidak peduli jika Horst dan kepanitiaannya tidak terlibat lagi.
Jika melihat jejak rekam pelaksanaan even Sandeq Race yang beberapa tahun belakang ini telah dilaksanakan, maka besar "kemungkinan" perhelatan even Sandeq race 2017, kembali tak lebih daripada sekedar kegiatan pesta rakyat agustusan semata. Dan juga kembali hanya dinikmati segelintir orang yang kebingungan. Sandeq Race jelas semakin kehilangan tuahnya.
foto : kompadansamandar.co.id
klik informasi detail :
0 Comments