Catatan Tomi Lebang
Saya baru sekali ini melihat tampangnya, itu pun di layar televisi. Tapi namanya sudah sungguh tenar semenjak saya pertama menginjak ibukota. Namanya Daeng Aziz, penguasa taman hiburan Kalijodo. (Yaela, taman hiburan). Itu tempat pelacuran kelas bantam junior ibukota. Eh, maksudnya pelacuran kelas bawah. Tentu murah meriah.
Dan tempat-tempat yang mempertemukan para penjaja cinta dan pebelanja syahwat seperti ini selalu bergandengan dengan penguasa malam: para preman jalanan.
Daeng Aziz inilah kabarnya penguasa Kalijodo di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Hebatnya – jika mau disebut hebat – ia pendatang dari Makassar. Namanya juga Daeng, dan heiiii, ... lihat kalung emas yang melingkar di leher, menyembul dari balik kaos oblongnya.
Bisa dibayangkanlah jika di Kalijodo ia bisa berkuasa. Tentu ia berani, cenderung nekad, dan menganggap nyawa seharga upil. Ingat Kombes Khrisna Murti kan? Direktur Reserse Polda Metro Jaya yang sering tampil di televisi itu? Nah, Daeng Aziz pernah menodongkan pistol di keningnya.
Semasa menjadi Kapolsek Penjaringan, Jakarta Utara, suatu hari bulan Januari 2002, Khrisna Murti datang melerai perang antargeng di kawasan Kalijodo. Ia berbaju preman. Dan Daeng Aziz yang tak tahu ia polisi nekad menodongkan ujung pistol di kepalanya. "Jika pelatuk itu ditarik, tamat juga riwayat saya,” kata Khrisna Murti. Dan kalau saja Daeng Aziz jadi memicu pelatuk pistol saat itu, kita tak kan pernah melihat Khrisna Murti berlari-lari di simpang Sarinah mengejar teroris bersenjata kemarin di televisi.
Bukan hanya melawan polisi. Daeng Aziz pula yang bersama anak buahnya membuat gerombolan FPI berbaju putih tunggang langgang ke jalan tol saat hendak merazia Kalijodo.
Tapi penampakan Daeng Azis rupanya tak sesangar kabarnya. Ia sedikit botak layaknya seorang yang lelah berpikir, suaranya tak mengancam. Saya dengar ia sudah sering pula beribadah umrah.
Selain Daeng Aziz, di sekitaran Kalijodo juga ada orang Mandar yang juga berkuasa. Namanya Yusman Nur. Keduanya tak sepaham, malah kerap berperang berebut wilayah. Saya pernah melihat foto Yusman berbaju koko dengan senyum yang sungguh ramah.
Begitulah. Orang-orang Bugis-Makassar di ibukota memang hidup di wilayah yang terentang luas: dari Menteng hingga Kalijodo, dari istana sampai kawasan remang-remang. Bukan salah bunda mengandung, tapi hidup memaksa mereka jadi petarung.
Orang-orang Bugis-Makassar mengenal falsafah tiga ujung – tellu cappa’ – sebagai bekal para lelaki perantau: ujung lidah, ujung badik, ujung kemaluan. Jika tak bisa hidup sebagai cerdik pandai yang fasih berbicara dan memuliakan pengetahuan (lidah), mereka menempuh jalan keras demi harga diri (badik), atau mencari jodoh keluarga mapan dan bangsawan (kemaluan). Dengan itulah mereka tetap menegakkan kehormatan sebagai orang Bugis-Makassar di tanah seberang.
Saya tak tahu, di ujung falsafah manakah gerangan Daeng Aziz menancapkan hidupnya.
0 Comments