RANTEMARIO Bag.3


Rem Jeep tua berdecit keras tepat disebuah kelokan tajam jalan kecil. Decit gesekan logam dari jepitan kampas rem mencengkram cakram besi ban mirip suara dengking anjing yang kesakitan. Pertanda piranti rem mobil yang sudah tidak layak digunakan. Terdengar bunyi klepek... klepek dari karet ban gundul menyatu dengan suara gemuruh kerikil jalan beton setengah jadi. Jeep tua berwarna coklat kusam itu seperti dipaksa berhenti. Dua orang langsung melompat turun ke jalan. Salah satunya buru-buru melongok ke bagian depan mobil,memeriksa kondisi ban. Dari dalam mobil, samar-samar terdengar suara musik yang terdengar cempreng.

“Aihh… meletus ki ban mobil,” gerutu Anto, sang supir Jeep tua. Ia mendengus kesal sambil menarik rem tangan. 

Ketika turun dari mobilnya, ia memandang ke arah langit yang kelam dipenuhi awan-awan tebal menggumpal. Raut wajahnya seketika meringis, entah kesal atau karena terkena gerimis hujan. Ia melangkah ke bagian depan mobil dan memperhatikan ban depan sebelah kiri. Mulutnya mendecak sembari geleng-geleng kepala memperhatikan bentuk ban itu sudah rata dengan velg.

Ada 5 orang penumpang dalam mobil yang tampak tenggelam di tengah tumpukan karung dan barang. Semuanya mahasiswa. Namanya Wawan, Anggie, Rio, Rudi dan Tari. Sejak mobil berhenti, mereka hanya saling memandang kebingungan dan enggan turun dari mobil. Padahal mereka sudah berjam-jam duduk berdesakan bersama tumpukan barang titipan warga desa. Suara tape mobil yang cempreng dengan aliran musik tidak jelas, entah musik poco-poco atau dangdut techno, bikin suasana dalam mobil makin sumpek.

“Ini sudah desa Rante Lemo pak Anto?” Wawan menggeliat, berusaha mengintip lewat jendela mobil.

“Iye, sudah dekat,” jawab pak Anto sambil menggeratak bagian bawah jok mobil, mencari sesuatu.

“Wah! Mudah-mudahan bisa cepat diperbaiki pak Anto! ini cuaca kurang bagus,”

“Iye mudah-mudahan,”

Wawan mengangkat kedua bahu ketika Anggie dijok depan menoleh ke arahnya dengan wajah penuh tanda tanya. Di sampingnya, Rudi dan Rio setiap saat menggeliat berusaha membebaskan tubuhnya yang terhimpit tumpukan karung dan barang.

Di samping Anggie, Tari tampak gelisah mengamati tape mobil model tahun 80-an yang berada didepannya. Ia kebingungan mencari tombol off untuk mematikan suara musik yang sedari tadi membuatnya stress. Ia kemudian berinisiatif memutar kunci mobil dan suara musik pun menghilang. Suasana seketika menjadi sepi. 

Sepanjang wilayah lereng pegunungan Latimojong tersebar beberapa desa kecil. Di pedesaan itulah berdomisili suku Duri, suku mayoritas Enrekang pegunungan. Seperti pada umumnya kondisi kehidupan masyarakat pegunungan di Indonesia, sarana transportasi di kawasan lereng gunung Latimojong merupakan persoalan klasik. Realitas itu membuat semua desa yang berada di lereng pegunungan Latimojong, sulit berkembang. Padahal kawasannya merupakan lahan agrobisnis terbesar di Sulawesi Selatan.

Awal tahun 2000, hampir semua jalan rintisan yang membelah perkampungan sudah dibeton, namun kendaraan yang lalu lalang masih bisa dihitung jari. Meski sarana jalannya sudah cukup memadai, medannya masih terlalu berat untuk dilalui kendaraan umum. Banyak tanjakan terjal dengan tikungan berkelok-kelok tajam. Hanya Jeep dan Landrover keluaran klasik milik segelintir warga yang mampu menjelajahi jalan rintisan itu sejauh puluhan kilometer. Kendaraan itu pula yang menjadi sarana transportasi alternatif antar desa yang langka, yang tentu saja dengan harga jasa yang selangit. Mesinnya boros bahan bakar, apalagi jika sudah seringkali dioprek selama puluhan tahun.

Para pendatang yang ikut menggunakan jasa armada mobil tua itu biasanya harus rela berdesakan dengan warga dan barang-barangnya yang sebagian besar adalah hasil kebun.

Tari menghela nafas ketika berhasil menemukan tombol off tape mobil. Ia kemudian melirik ke Anggie dengan tatapan ragu-ragu

“Kayaknya ini pertanda bakal jadi Bad trip yah, Gie?” desisnya. 

Melihat Anggie tanpa reaksi, ia mengangkat alis dan melirik ke jam tangan G-Shock merah di lengan kirinya. Gadis cantik berwajah oriental itu jadi keki karena kebiasaan postulat-nya kambuh. Kebiasaan alami dimana kondisi psikologi yang tidak kuat menyimpan rasa kuatir berlebihan.

Ini kali pertamanya Tari ikut dalam aktifitas pendakian. Diantara teman satu timnya, Tari termasuk anggota muda. Belum setahun ia bergabung. Sejak ikut dengan organisasi Mapala, hampir semua teman geng-nya tidak percaya. Dikampus, Tari dikenal sebagai cewek gaul dengan komunitas modis yang penuh pernik-pernik trend. Penampilannya terawat. Kemana-mana tentengannya adalah shoulder Bag jenis Zara Crossbody keluaran terakhir. Ia paling aktif jika sudah melanglangbuana dari Mal ke mal. Herannya, jika ditanya, kenapa ia bisa jadi anggota Mapala, Tari tidak tahu jawabannya. Ia mau saja. Satu waktu ia pernah mengaku, merasa asyik saja bisa terdampar di tempat asing yang tidak dikenal sama sekali. Namun ikut dalam perjalanan kali ini, ia jadi paham, kenapa banyak mahasiswa yang enggan bergabung dengan penggiat alam bebas.

“Cuaca kayak gini, sudah lumrah dalam pendakian, Tari! buang khayalan tololmu itu!” akhirnya Anggie bicara, walau setengah mencibir. Dari tadi ia gelisah celingukan berusaha mencari tahu apa yang sedang dilakukan pak Anto. Sulit melihat dengan jelas dari balik kaca mobil buram yang dipenuhi titik-titik air.

Jika Anggie sudah menegurnya, Tari lebih memilih diam. Anggie salah satu senior cewek yang paling ia kagumi. Itu sebabnya ia menurut saja jika Anggie menegurnya. Tari suka style Anggie yang selalu terkesan tegar dan bersemangat. Anggie berparas cantik, meski kulit wajahnya jarang bersentuhan dengan segala macam make up. Tak ada bedak, tak ada pemerah bibir. Sejak mengenalnya, Tari belum pernah melihat Anggie menyisihkan waktu untuk sekedar menengok wajahnya dicermin seperti yang dilakukan gadis pada umumnya. Meski begitu, wajahnya tetap cantik dan segar. 

Anggie masih berusaha mencari tahu, apa gerangan yang sedang dilakukan pak Anto di depan mobil. Saat celingukan, mendadak ia terkesiap. Wajah pak Anto tiba-tiba saja muncul di jendela mobil dengan rambut basah kuyup.

Senyumnya yang lebar menampilkan deretan gigi kekuningan penuh karang gigi. 

“Bagusnya kalau kita semua turun dulu! Mobil mau didongkrak untuk buka ban” katanya.

“Lama pak?” tanya Tari.

“Ndak ji, cuma sebentar,”

Tanpa pikir panjang lagi, Anggie membuka pintu mobil dan beranjak keluar. Wawan, Rio dan Rudi yang sedari tadi duduk gelisah, serentak bereaksi melihat Anggie sudah turun duluan dari mobil.

“Turun juga deh! Kita sudah kayak Ikan Kaleng mi disini!” sahut Rudi

“ Iyo… Daging pantatku rasanya sudah mau habis,” timpal Rio.

Mereka pun serta merta beringsut dengan susah payah keluar lewat pintu belakang.

Tari memperhatikan teman-temannya yang berusaha keluar dari mobil. 

“Ehh, hujaan..” cegah Tari. Ia tidak mau ditinggal sendiri. 

Satu dari mereka tak ada yang menggubris dan langsung buru-buru turun berhamburan keluar dari mobil meninggalkan Tari yang masih melongo di jok depan.

Wawan menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk menetralisir rasa pegal. Sekonyong-konyong bau lembab tanah yang basah bercampur aroma hutan menyeruak. Rio lebih sibuk meremas-remas otot bokongnya yang dirasakan sudah kaku. Tingkah lakunya lucu. Rudi sampai ketawa terpingkal-pingkal melihat modelnya mirip orang kebelet buang air besar. 

Sama dengan Tari, perjalanan ini adalah kali pertama buat Rio dan Rudi. Mereka bertiga adalah anggota muda yang diwajibkan untuk mengambil nomor register keanggotaan melalui proses aktifitas pendakian gunung. Dibanding Rudi yang sering aktif dalam kegiatan lapangan, pengalaman Rio lebih minim. Sama dengan Tari, semua temannya pun bingung jika ia ditanya alasannya bergabung dengan Mapala. Ia juga belum tahu jawabannya. Dalam kegiatan pendakian perdana mereka di gunung Latimojong, Wawan dan Anggie adalah senior pendamping yang harus mereka patuhi.

“Sayang kalian datang pada waktu yang salah. Tidak ada sesuatu yang bisa dinikmati dalam cuaca seperti ini. Pemandangan gunung jadi jelek,” kata Wawan sambil merogoh kantong dan mengeluarkan sebungkus rokok. 

“Lihat depan sana! jika kondisi cuaca normal, kalian bisa lihat alam terbuka pegunungan dan lembah hijau sampai batas lereng.Pemandangannya cantik seperti negeri dongeng,”

“Negeri dongeng yang suram Wan, hehe,” timpal Rudi. 

Mereka serempak tertawa.

Setelah menyulut rokoknya, Wawan mendekati pak Anto yang sibuk memasang engkel dongkrak. Sedang dua orang asistennya sibuk membuka baut ban. “Langsung ganti ban serep pak Anto?” tanyanya.

Pak Anto menoleh sebentar. “Ndak ada ban serep bos. Ini ban dilepas biar bisa ditambal di desa yang kita lewati tadi,” katanya.

Wawan terkejut. “Waah… Bisa kelamaan kita menunggu kalau begitu pak Anto?”

“Ndak ji, banyak warga lewat jalan ini. Kita bisa minta tolong sama mereka,”

Banyak warga yang lewat? sudah berapa lama mereka disini, satu pun belum ada yang nampak batang hidungnya. Dengan hati bertanya-tanya, ia berbalik memandangi jalan beton berkelok-kelok yang mereka lewati tadi. Tampak sepi dan lengang, sampai bunyi desir angin dan gerimis pun bisa ia dengar. Tidak lama, samar-samar terdengar bunyi mesin meraung-raung. Sebuah motor muncul meliuk-liuk di tanjakan berkelok.

“Yayaya, ini sugesti positif.” pikirnya sembari senyum. Baharanya menjadi ringan.

Manusia punya batas, Tuhan yang tidak terbatas. Intuisi yang membawa manusia untuk menyatu dengan yang tidak terbatas itu. Sifatnya gaib, maka non rasional dan intelektual bersekat tipis. Bentuk fungsionalisme kekuatan pikiran bawah sadar itu yang memproses kebiasaan, perasaan, memori permanen, persepsi, kreativitas, keyakinan dan reaksi-reaksi alami lainnya. Intuisi baik akan melibatkan semesta dan memicu elemen-epemen positif untuk meruang dalam dimensi alam sadar. Hasilnya selalu ajaib. Jauh dari logika.



Post a Comment

0 Comments