Jenis Predator Langka Hantui Budidaya Tambak Udang Windu


Udang windu diketahui pernah berjaya diera 1980-an –1990-an. Popularitasnya sebenarnya masih terdengar, dan masih banyak orang yang mencoba-coba untuk kembali membangkitkannya dengan berbagai cara. Bahkan metodenya sudah tidak peduli dengan efek lingkungan dan kesehatan pangan.

Lalu, wabah white spot virus merebak. Virus ini terlebih dahulu menghantam industri udang di negara-negara tetangga, yang akhirnya jebol juga dan menular di Indonesia. Tambak-tambak bermodal besar, dengan sistem intensif maupun semi intensif, satu persatu tumbang. Udang windu semakin sulit dipelihara sehingga para investor pun menyerah dan mengalihkan modalnya ke bisnis yang lain. Ribuan hektar tambak di Indonesia menganggur dan tersia–siakan.

Budi daya udang windu kini hanya bisa bertahan di tambak–tambak tradisional. Itu pun dalam kuota terbatas. Pengelolaan seadanya dan tanpa target. Udang windu, yang dikelola secara tradisional, daya hidupnya sangat rendah. Apalagi kualitas lingkungan pun semakin buruk.

Berapa tahun belakangan ini, beberapa bentuk tehnologi dan metode terbaru berusaha diterapkan untuk menjadi solusi budi daya udang windu. Banyak inovasi yang menawarkan aplikasi organik, tidak butuh modal besar dan ramah lingkungan.

Kendati butuh waktu, upaya tersebut mulai berjalan dan menampakkan hasil yang signifikan. Dalam proses pertumbuhannya, para petambak udang windu kini mulai menghadapi momok yang lebih menakutkan dibanding virus dan kerusakan lingkungan. Momok menakutkan tersebut adalah munculnya kembali gangguan dari jenis predator purba yang dikenal sebagai pemangsa ganas dan pemburu yang sangat agresif.

Predator tersebut sudah ada pada masa prasejarah. Mereka diketahui bergerak dalam kelompok kecil dan sangat efisien sehingga sulit terlihat. Perburuannya tidak mengenal waktu, sangat fokus mengejar mangsa dan kejam. Jika predator ini mulai mengintai, bisa dipastikan semua udang windu akan lenyap seketika tanpa jejak.

Para ahli dan pengamat budidaya tambak sudah lama telah mengidentifikasi bentuk dan perilakunya. Jenisnya berjalan dengan dua kaki, sangat ahli menggunakan jala atau jaring dan memiliki senjata khas seperti parang atau senjata besi lainnya. Predator ini bisa menyamar dengan sempurna tanpa diketahui. Mereka tidak segan menjarah bahkan menciderai petambak.

Kemunculan predator berkaki dua ini telah menimbulkan keresahan sosial dalam revitalisasi kehidupan masyarakat petambak. Kondisi ini akan tetap berlangsung selama pemegang kebijakan ditiap daerah tidak merespon dengan baik proses pertumbuhan tambak–tambak tradisional masyarakat diwilayahnya. Sosialisasi bimbingan psikologi masyarakat yang minim dan belum ada langkah efektif untuk membuka ruang kerjasama bagi para pelaku perubahan.

Post a Comment

0 Comments