"PEMUSNAHAN KEDUA" Pada 14 Juni 1669, jam 6 sore, bunyi sebuah ledakan mahadahsyat menggemparkan Makassar, Balatentara gabungan Bugis-Maluku-Buton-Belanda yang sudah selama dua setengah tahun berusaha habis-habisan untuk menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo itu berhasil meledakkan beratus-ratus kilo mesiu yang tersembunyi di dalam sebuah terowongan di bawah tembok Benteng Somba Opu. “Seluruh langit berkabut hitam, dan teramat-amat banyak batu bata dilemparkan ke atas lalu berjatuh-jatuhan kembali sekeliling kami”, laporan Admiral Speelman, komandan Belanda saat itu. Ledakan yang amat dahsyat itu meruntuhkan hampir 30 meter tembok, dan para prajurit koalisi anti-Makassar yaitu sekitar 2000 orang Bugis, 200 orang Maluku, 200 orang Buton dan 100 serdadu dan awak kapal Belanda kemudian berlari menyerang lubang yang terbuka jauh dalam tembok yang selama ini tidak dapat mereka menghancurkan dengan meriam terbesar pun. Akan tetapi, dari dalam benteng dua lusinan prajurit melompati liang menganga yang terbuka akibat letusan itu, dan dengan segigih-gigihnya mempertahankan celah yang terbabang dalam pertahanan terakhir Makassar itu. Pada malam itu tiada musuh yang berhasil menembus ke dalam Benteng Somba Opu, dan serangan yang lebih dahsyat pada pagi hari esoknya pun gagal. Sebagaimana dilaporkan Speelman, serangan sore hari 15 Juni berakhir pada suatu pertempuran “malam paling mengerikan, yang suaranya bahkan tidak pernah didengar oleh veteran perang di Eropa” – tetapi bagaimanapun, Benteng Somba Opu belum juga dapat ditaklukkan. Tanggal 17 Juni hujan deras mulai turun tak henti-hentinya selama seminggu, dan serangan berikutnya terpaksa ditunda dulu. Pada malam tanggal 22/23 Juni Arung Palaka dan ksatria Bugis setianya habis kesabarannya, dan menyerang lagi – dan setelah melwati pertempuran yang amat sengit, akhirnya mereka berhasil menerobos ke dalam benteng. Meski hujan masih turun dengan deras, mereka mulai membakar dan menjarah gudang, rumah dan istana di dalamnya. Para pembela benteng berusaha bertahan dengan kukuh di dalam kobaran api reruntuhan benteng, tetapi akhirnya harus kalah pada sore hari tanggal 24 Juni 1669. Karena terkepung api, Sultan Hasanuddin dan setangan penuh prajurit yang bertahan di ujung tenggara Benteng Somba Opu sudah pada pagi hari terpaksa melarikan diri ke benteng Kale Gowa. Orang-orang Melayu yang bertempur sampai akhir di bagian selatan benteng pada waktu sore menyerang dengan gigih serdadu Bugis dan Belanda yang sedang sibuk membakar benteng, ikut meloloskan diri ke perahu-perahu yang dilabuhkan di Sungai Jeneberang. Pada kegelapan malam hari itu juga mereka bersama ratusan orang Makassar, Wajo dan Mandar berhasil menerobos blokade kapal-kapal Belanda di laut, dan berlayar menjauh, mencari perlindungan dan kehidupan baru di negeri-negeri yang belum ditaklukkan penjajah. Dengan hengkangnya orang Melayu ini habislah pula perlawanan Makassar terhadap koalisi pimpinan Arung Palakka dan Admiral Speelman. Lima hari setelah Somba Opu jatuh ke dalam tangan musuhnya, Sultan Hasanuddin pun turun tahta. Agar kerajaan Gowa-Tallo tidak lagi bisa membangkit dan melawan penguasa Sulawesi Selatan yang baru ini, pada minggu-minggu berikutnya Benteng Somba Opu diratakan dengan tanah. Pusat kota yang sebelumnya terbangun di sekeliling benteng sudah dihancurkan pada dua tahun perang sebelumnya, dan Speelman keluarkan perintah bahwa tiada akan lagi seorang pun yang boleh mendirikan bangunan di kawasan bekas kejayaan Makassar itu. Sisa-sisa penduduk kota –dari sekitar 100.000 warganya sebelum perang tertinggallah hanya kurang-lebih 5.000 orang saja dan harus pindah ke kawasan utara Fort Rotterdam, yang didirikan atas reruntuhan Benteng Ujung Pandang yang sudah setahun sebelumnya menjadi milik Belanda. Dengan adanya perintah pengosongan ini, maka situs benteng terbesar dan terkuat yang pernah dibangun di Nusantara ini lambat-laun terlupakan, dan kawasannya menjadi rawa belantara. Sungai Jeneberang beberapa kali mengubah alirannya, dan menguburkan sebagian dari bangunan benteng yang tidak sempat dihancurkan. Baru pada akhir tahun 1980-an, lebih daripada 300 tahun setelah penghancurannya, Somba Opu menjadi lagi buah bibir masyarakat Makassar. Dari orang-orang yang tinggal di kampung terpencil di muara Sungai Jeneberang, beberapa sejarahwan UNHAS mendengar berita adanya tumpukan batu bata yang luas, dan setelah mereka menelusuri lokasinya dan meneliti arsip-arsip Belanda, terbuktilah bahwa reruntuhan tembok dan tumpukan batu-batu bata itu adalah sisa pusat kota Makassar pada abad ke-16 dan ke-17. Bukan hanya Benteng Somba Opu, tetapi juga Benteng Panakukang dan sekian banyak bangunan lainnya yang didirikan di sekeliling pusat kota pada zaman itu ditemukan kembali. Untunglah ada Professor Ahmad Amiruddin, rektor UNHAS yang kala itu menjadi gubernur Sulawesi Selatan, dengan bantuan dana bermilyar-milyar Rupiah dari propinsi Sulsel, UNHAS dan beberapa dermawan, maka para ilmuwan itu bisa meneliti, mengekskavasi, dan akhirnya mulai mendirikan kembali pusat historis kota termasyhur Sulawesi. Baca : https://cahayaditama.blogspot.co.id/2016/09/ada-kisah-dibalik-revitalisasi-benteng.html Para ‘pendiri kembali’ Benteng Somba Opu itu tak main-main: Mereka berencana membangun ulang bukan saja tembok benteng itu, tetapi juga berusaha mendirikan sebuah kawasan ‘musium hidup’ sejarah dan budaya Sulawesi yang tertata mengikuti teladan musium-musium mutakhir luar negeri. Rumah-rumah adat yang didirikan di kawasan situs Benteng Somba Opu bukan ‘istana-istana mimpi’ seperti yang dibangun di TMI di Jakarta, tetapi sesungguhnya mengikuti teladan rumah tradisional asli yang terdapat di berbagai daerah, bahkan, sebagian rumah dicontohkan atas gambar dan pesan yang terdapat dalam naskah-naskah lontaraq Sulawesi. Adapun salah satu rumah yang mengikuti teladan rumah ‘tradisional’ Belanda di Indonesia – bukanlah keberadaan orang negeri kincir itu merupakan sebagian dari sejarah Sulawesi juga? Dan setiap rumah adat dilengkapi dengan penghuninya – ada pemusik tradisional, penulis, pematung, pelukis, sejarahwan, budayawan, muda dan tua, orang pribumi maupun asing, yang sebagiannya bahkan diberi beasiswa untuk bercipta dan berkarya, meneliti dan menulis di dan tentang Benteng Somba Opu dan Sulawesi Selatan ini. Penataan kawasan situs dilakukan dengan sangat seksama. Seandainya semua "revitalisasi" tersebut diselesaikan dengan mengikuti masterplan-nya, pengunjung hanya perlu berjalan kaki dari tembok benteng sebelah barat sampai ke Musium Pattingalloang, membaca papan-papan keterangan yang rencananya akan dipasang di masing-masing rumah, dan sudah dapat Anda ketahui apa itu Sulawesi Selatan dan bagaimana sejarah dan budayanya, mulai dari catatan historis pertama sampai ke caranya mecegah tikus naik ke dalam rumah panggung. Dan karena semua itu direncanakan oleh cendekiawan terkemuka, maka Anda boleh yakin bahwa informasi yang Anda dapatkan itu sesuai dengan temuan ilmu budaya dan sejarah paling mutakhir. Horst Liebner, Universitas Leeds Rumah Adat Mandar, Benteng Somba Opu, Makassar
0 Comments