Suku Bajo adalah satu-satunya suku air yang dikenal di benua Asia. Menurut hasil penelitian para ahli, suku Bajo berasal dari daerah China Selatan dan termasuk suku bangsa Proto Malayan yang datang ke wilayah Asia Tenggara ini sejak 2000 tahun Sebelum Masehi. Dari daratan Indochina, mereka bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaysia, yang pada akhirnya menyebar ke seluruh wilayah di Asia Tenggara, termasuk wilayah mereka sekarang ini di Sulawesi Tenggara. Selain di Sulawesi Tenggara, orang Bajo juga banyak di temukan di wilayah Sulawesi lainnya. Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka, seorang yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat dalam agrikultur.
Antropolog kebudayaan, Evi Mariani menuliskan bahwa konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di semenanjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama BajoE. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Sejarah versi pulau Tukang Besi (Wakatobi) juga hampir sama yaitu nenek moyang orang Bajo berasal dari Johor yang terpisah dari keluarganya kemudian muncul di Sulawesi Selatan dan menikah dengan seorang pangeran dari Makassar. Mereka kemudian memiliki 4 putra dan memerintah di Gowa, Bone, Luwu dan Soppeng.
Sejarawan Eropa mencatat kehadiran Bajo di Sulawesi Selatan pada abad XVI. Catatan yang lebih tua bertahun 1511 dari Tome Pires yang mencatat keberadaan orang Bajo di Kerajaan Gowa seputar kota Makassar. Admiral Speelman yang digelari “The Conqueror of Makassar” (1666-1667) mencatat tentang orang Bajo yang hidup di pulau kecil di teluk Makassar dan mereka mengumpulkan kulit penyu yang mereka serahkan sebagai persembahan ke Raja Makassar dan “mereka selalu siap dengan perahu mereka kemanapun dikirim”.
Akhir tahun 1670, mereka juga ditemukan di Sulawesi Utara, di perairan Menado. Sebagai “pelaut ulung dan spesialis kemaritiman” mereka memainkan peran penting dalam kebangkitan Kerajaan Gowa dalam bidang politik dan ekonomi di timur Indonesia sepanjang abad 17 dan awal abad 18, begitupun sesudah itu dengan kerajaan Bugis Bone hingga ke bagian timur Makassar. Dalam negara maritim itu, orang Bajo berperan sebagai penjelajah, pembawa pesan, pelaut dan pengumpul produk kelautan yang diperdagangkan hingga Asia Timur dan Asia Tenggara.
Kepercayaan supernatural utama bagi suku Bajo tentang laut adalah media tempat bersemayamnya leluhur laut yang mereka sebut Mbo Madilao, yang dianggap sebagai pembangkang Nabi (Nuh). Pada awalnya diyakini ada 7 orang Mbo Madilao antara lain Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Buburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, dan Mbo Goyah. Pemimpin diantara mereka adalah Mbo Janggo. Mereka selalu muncul dalam wujud manusia dan setiap dari masing-masing memiliki kekuatan yang berbeda. Sesuai dengan keyakinan orang Bajo, leluhur mereka itu selalu berada dalam satu perahu dan karena melakukan pembangkangan, mereka menghilang di laut dan tidak ditemukan lagi.
Penggunaan nama Mbo disematkan untuk leluhur-leluhur mereka, dan juga digunakan untuk tetua kampung, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. Nama-nama leluhur ini dianggap sangat sakral dan tidak bisa dipercakapkan di sembarang waktu dan tempat. Sangat pantang untuk menyebut namanya dalam pembicaraan biasa. Suku Bajo meyakini leluhur mereka sudah ada pada masa Nabi Nuh saat membangun kapalnya di atas sebuah gunung. Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Buburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, dan Mbo Goyah tidak percaya bahwa kapal itu bisa “melaut”. Pembangkangan tersebut membuat mereka dikutuk dan hilang saat banjir bah datang.
Kepercayaan kosmologi ini kemudian dibawa dan berasimiliasi ke dalam keyakinan Islam. Posisi leluhur mereka ditempatkan setingkat di bawah Nabi, tapi diyakini bekerja dengan dan untuk nabi. Yang menarik dari kepercayaan mereka (antara Islam dan kepercayaan tradisional) adalah bahwa Nabi Muhammad sudah memerintahkan agar manusia mengontrol lautan, sehingga setiap kampung memiliki “pembantu nabi”.
Kisah lain adalah tentang Nabi Khidir yang memerintah laut dan ikan untuk orang muslim, tapi salah seorang nenek moyang orang Bajo yang mendapatkan karamah dari Tuhan, malah mengontrol dan memerintah lautan hanya untuk orang Bajo. Dari kepercayaan ini, orang Bajo menganggap bahwa hanya mereka yang menguasai laut dan isinya.
Interaksi dengan leluhur dan aktifitas ritual suku Bajo menggunakan mantra melalui ilmu yang disebut Pangatonang. Beberapa ilmu warisan leluhur pada suku Bajo adalah ilmu tentang penyakit dan penyembuhannya, ritual sehari-hari dan ritual perantaraan (pangatonang sanro), ilmu jahat (pangatonang bebelau), ilmu pembangunan rumah (pangatonang ruma’), ilmu perahu (pangatonang lambo / bidu), ilmu berlayar, kontrol terhadap lautan dan perikanan, ilmu juragan (pangatonang a’nakoda dan pangatonang punggawa), dll. Ilmu ini diwariskan dari generasi ke generasi yang hanya bisa diterapkan secara rahasia.
Referensi : Rakhmat Zaenal
-
0 Comments