RANTEMARIO Bag.2

 


        Bias jingga di ufuk barat berangsur menipis. Periodenya cepat membawa suasana sekitarnya menjadi suram dan menciptakan bayangan cerukan-cerukan batu besar seperti monster. Hawa dingin perlahan ikut menyergap. Ia kemudian bergegas membuka penutup atas Carrier, mengeluarkan kain tenda dan parasut. Meski dengan tubuh mengigil kedinginan, tangannya masih sigap menyusun rangka tenda aluminium dan menautkan semua tali penambatnya. Dalam hitungan menit, tenda dome-nya sudah berdiri rapi terbungkus kain pelempar parasut. 

    Hembusan angin sudah mereda, berganti hawa dingin yang menusuk. Setelah memeriksa kekuatan tali penambat dan patok tenda, ia pun menarik carrier-nya ke dalam teras tenda. Dengan cepat ia membuka gulungan matras dan menyalakan lampu. Bias cahaya temaram dari dalam tenda seketika menyeruak gelap. Ia mengeluarkan kompor lipat kecil dan peralatan masak dari kantung tasnya lalu beranjak keluar dari tenda menuju ke sungai ditengah tebing.

     Separuh langit sudah tertutupi gelap, separuhnya lagi berselimut awan pekat membubung naik mengikat partikel air dan berpusar menarik udara basah. Selebihnya memaksa angin mengirim udara lembab ke segala penjuru, mencengkram apapun yang dilaluinya. Aliran hawa dingin dipuncak ini mampu meng-anomali aliran darah menjadi pekat, paru-paru dibuat menyusut dan membekuk pertahanan tubuh. Ia sudah paham hal itu. Entah sudah berapa kali ia rasakan.

       Setelah meletakkan panci aluminium berisi air di atas penumpu kompor kecil. Dia terdiam sejenak menatap api kecil menari-nari pelan ditiup angin. Lewat ujung teras tenda, matanya memperhatikan bayangan labium cerukan batu. Melewati fase khusus dalam pikirannya, akhirnya ia memutuskan beranjak menuju ke tempat itu. 

        Di bawah ceruk batu, cahaya head lamp menerangi kedua tangannya yang sibuk membongkar tumpukan bebatuan hitam. Disitu terdapat sebuah lubang kecil. Sebuah bungkusan plastik lusuh diambil dari dalam lubang itu. Dalam bungkusan plastik terdapat carikan kertas-kertas yang tergulung. Tangannya tampak gemetar saat membuka gulungan carikan kertas tersebut. Tiap kertas terdapat tulisan-tulisan tangan. Ia begitu taqzim dan larut ketika membaca setiap tulisan itu. Pada saat itu pula, momen mistik melingkupi imajinasinya. Ia merasa ilusinya perlahan mulai menyeberang, menembus sekat-sekat waktu yang melapis kisah lama pada setiap lembaran carikan kertas. Entah kesekiankali, ia selalu berusaha memaksa jiwanya untuk memahami kisah yang sudah lama mengendap di situ.

        Ia sadar, jiwanya akan segera melayang dalam dimensi instruksi. Rutinitas mengendalikan emosi dikerahkan penuh agar ia bisa leluasa menyusuri masa dimana ia pernah memahami sebuah kehidupan yang aneh. Sinar mata yang tadinya menyorot liar akhirnya meredup dan jatuh. Untuk kesekian kalinya pula ia merasakan lingkaran matanya menghangat. Ia berusaha membebaskan dengan paksa sekelumit rahasia getir pada sisinya yang nyata. Namun, sebagian jiwanya sudah terlanjur mengembara. Perlahan-lahan dibebaskannya semua partikel tubuhnya untuk bersenyawa dengan angin. Melayang menembus langit-langit malam puncak Rante Mario yang sudah gelap dan dirubungi bintang.

     Dalam imajinasi ambigu itu, ia mencari sesuatu yang selalu mampu menyatukan kepingan-kepingan sukmanya, direkatkan menjadi satu kemudian membawanya ke dasar alam bawah sadarnya. Saat itu pula ia meruang dalam sekat-sekat dimensi Rante Mario yang jauh dari akal manusia.

Perlahan-lahan ketika ia sudah kembali ke dirinya. Seperti biasa, ia akan menyimpulkan perjalanan pikirannya. 

Diriku yang aku cari, dan kau selalu ada di baliknya…

     Kabut tebal bersenyawa dengan hawa dingin, membekap malam, dan ia pun terdiam tenang ketika telah menemukan kembali keheningan dirinya.

(bersambung)

Post a Comment

0 Comments