MENELISIK KRITIKAN SOSIAL DALAM FILM SELIMUT KABUT RONGKONG

 


Kendati fiksi, isi cerita dalam film Selimut Kabut Rongkong pada dasarnya adalah bentuk kisah yang menggambarkan fenomena sosial dan realita budaya masyarakat pedalaman di pegunungan Luwu Utara Sulawesi Selatan ini. 

Unsur-unsur struktur pembangun ceritanya meliputi alur, penokohan, latar serta tema cerita merupakan hasil pendekatan sosiologi yang tidak terlepas dari tokoh, latar belakang, lingkungan masyarakat dan kondisi sosial masyarakat Rongkong. Wilayah pedalaman Rongkong selama ini memang terkesan luput dari perhatian pemerintah. Persoalan minimnya infrastruktur dan sarana kebutuhan masyarakatnya cenderung tertinggal dibanding wilayah lainnya di Tanah Luwu. 

Ada beberapa garis besar kritikan sosial dalam film Selimut Kabut Rongkong yang berusaha mengungkap realita masalah sosial, budaya dan lingkungan yang terjadi di Rongkong saat ini. 

Kritikan pertama adalah kritik krisis identitas kearifan lokal dimana sebagian besar masyarakat Rongkong mulai meninggalkan kekayaan budaya nenek moyang mereka yang seharusnya diwarisi para generasi mudanya. Sebuah fakta yang cukup memprihatinkan. Faktanya, tenun tradisional Rongkong yang fenomenal itu kini hanya ditekuni segelintir orang saja. Minim generasi. Minim edukasi. 

Kritikan kedua adalah pola pendidikan anak sekolah dasar yang mengabaikan pelajaran ekstra dengan muatan lokal. Anak-anak tidak bisa lagi memahami kearifan lokal daerahnya sendiri lantaran disibukkan dengan standar kurikulum pendidikan nasional. 

Kritikan ketiga adalah kritik terhadap persoalan lingkungan. Sebagian besar kondisi kawasan di Rongkong dan wilayah pegunungan Luwu Utara berpotensi rawan longsor akibat pembukaan lahan besar-besaran serta pembalakan liar yang telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Terbukti, ketika terjadi banjir bandang yang menerjang kota Masamba dengan status bencana nasional, ditemukan jutaan kubik kayu gelondongan yang bergelimpangan hanyut terbawa banjir. 

Kritikan keempat adalah persoalan tanah ulayat. Kepastian regulasi terkait tanah adat di Indonesia saat ini masih tidak jelas statusnya. Ketidaksesuaian batas wilayah antara batas lahan versi pemerintah dan masyarakat adat rentan menimbulkan konflik-konflik sosial lainnya baik secara vertikal antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan bahkan konflik secara horizontal antara masyarakat adat. 

Film Selimut Kabut Rongkong merupakan refleksi kondisi sosial masyarakat pedalaman khususnya pelosok pegunungan. Dari film ini diharapkan bisa membuka wawasan dan menawarkan solusi atas berbagai persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah mengajak masyarakat untuk peduli serta memberi semangat membangun kampung halamannya sendiri.

Post a Comment

0 Comments