Kurang dari dua puluh empat jam, sprinter Indonesia ini sudah menjadi selebritis. Semuanya ingin memanfaatkan dia.
Orang berlomba-lomba meromantisasi kemiskinannya dan membuatnya menjadi cerita Cinderella. Dia memang anak yatim piatu yang tinggal di gubuk berdinding gedeg. Video-video yang memperlihatkan rumahnya dibagikan di media sosial. Tulisan-tulisan mengharubiru dibikin. Cerita-cerita soal kemiskinannya, termasuk tidak mampu membeli sepatu, bisa ditemui di berbagai media.
Tentu tidak lupa, politisi dan kekuatan-kekuatan politik menawarkan segala macam hal. Tukang-tukang plintir bekerja di semua front dengan memanfaatkan status selebritas Zohri yang bahkan belum berumur 24 jam. Mereka memelintir cerita untuk kepentingan majikannya.
Mereka yang bercita-cita mengganti presiden mempersoalkan tidak ada bendera. Tidak ada perhatian dari pemerintah kepada atlitnya, kata mereka. Sementara, para pendukung presiden berusaha menghubungkan Zohri dengan gubernurnya yang merapat ke presiden.
Pendeknya, tidak perlu waktu terlalu lama, selebritas Zohri juga menjadi pertikaian partisan. Sementara di medan lain, orang berlomba memberi ini dan itu. Tentu, sebagaimana layaknya pemberian, ia adalah juga pertukaran. Yang memberi harus juga mendapat.
TNI-AD paling cepat tanggap. Dalam hitungan jam, Danrem setempat melakukan bedah rumah. TNI-AD dengan sigap memperbaiki rumah Zohri. TNI juga menawarkannya dispensasi untuk Zohri menjadi tentara. Namun ada juga berita bahwa Presiden sudah memerintahkan menteri PU untuk memperbaiki rumah Zohri.
Kalangan agama juga tidak mau kalah. Hidayat Nur Wahid, politis PKS yang juga Wakil Ketua MPR menghubungkan prestasi Zohri sebagai remaja/pemuda Muslim. Dia menulis di twitter: "Remaja AS pertama, Ahmed B Muhammad,Juarai Lomba Baca AlQuran di Dubai, kalahkan peserta dari 100’negara lainnya. Dan Lalu M Zohri, pemuda Indonesia pertama Juara Dunia lari 100 M kalahkan pelari2 unggulan termasuk yg dari AS. Tanda apa? Remaja/Pemuda Muslim Bisa.#Jum’atBerkah."
Lain dengan politisi, seorang ustadz langsung memberikan hadiah berupa umroh gratis kepada Zohri. Sementara, partai yang paling cepat dalam menangkap peluang, sudah mengeluarkan poster dengan Zohri sebagai bintang.
Dua puluh empat jam yang lampau saya mengungkapkan kecemasan saya tentang Zohri. Nampaknya, kecemasan ini sudah menjadi kenyataan. Saya tidak menampik bahwa kemenangan ini patut diapresiasi. Kisah hidup Zohri memang perlu diketahui banyak orang untuk menjadi inspirasi, bukan untuk menjadi bahan kagum plonga-plongo. Dia juga perlu dibantu secara ekonomi.
Namun, prestasi Zohri ini adalah prestasi awal. Dia memang juara dunia. Walaupun catatan waktunya tidak yang terbaik. Dia adalah atlit pemula dengan masa depan yang sangat panjang. Yang dia butuhkan saat ini adalah pelatih dan manajer yang baik. Kompetisi yang reguler. Latihan yang berdisiplin dan terus menerus.
Semua perhatian yang berlebihan, apalagi dengan undangan sana-sini, hanya akan membunuh karirnya sebagai atlit.
Keberhasilan Zohri selain memperlihatkan bahwa kita juga punya peluang untuk bertarung di kelas dunia, juga membuka kelemahan yang paling mendasar. Kita tidak punya klub-klub olahraga dengan pelatih yang standar. Kita tidak punya manajemen olahraga yang berbasis komunitas. Kita tidak punya sarana-sarana untuk berlatih.
Asosiasi-asosiasi olahraga kita dikuasai politisi dan pengusaha. Kepentingan mereka bukan untuk memajukan olahraga tapi supaya terpilih menjadi penguasa atau mendapatkan keuntungan ekonomis.
Masyarakat kita sendiri tidak menaruh perhatian terhadap olahraga, kecuali sebagai penonton, petaruh, dan pengikut fanatik (ingat pendukung klub sepak bola yang berani bunuh-bunuhan?).
Awal piala dunia kemarin, saya membaca esei apik yang ditulis pemain sepakbola Argentina, Ángel di Maria. Dia juga bercerita (tanpa sedikitpun nada romantik yang mengeksploitasi kemiskinannya!). Di Maria bercerita tentang keluarganya sebagai pembuat arang. Ayahnya yang bangkrut. Dia menggambarkan bagaimana ibunya harus bersepeda setiap sore mengantarnya main bola, dalam dingin dan hujan. Juga bagaimana pertandingan pertamanya keluar negeri harus menumpang pesawat angkut militer.
Esei yang berjudul "In the Rain, In The Cold, In The Dark" itu menyadarkan saya. Dalam olahraga, bakat saja tidak cukup. Dukungan keluarga, dukungan masyarakat, sistem kompetisi yang teratur dan baik. Menjadi seorang atlit itu sama seperti menjadi artis yang serius. Dia membutuhkan latihan keras, terus menerus, disiplin, dan keseriusan.
Anda boleh bilang bahwa saya nyinyir. Tapi sekali lagi, saya ingin menekankan, kita membunuh karir Zohri dengan menghujaninya berbagai macam hadiah dan upacara. Biarlah dia berlatih. Berilah dia pelatih yang baik. Kesempatan berkompetisi yang seluas-luasnya. Itu yang lebih dibutuhkan seorang atlit.
(Made Supriatma)
0 Comments