Oleh : Shaifuddin Bahrum
Setelah Unesco (badan dunia untuk urusan kebudayaan) menetapkan sejumlah Budaya Tak-Benda menjadi Warisan dunia yang harus dilindungi maka tibalah giliran Perahu Pinisi melewati penilaian dan persidangan yang rumit di Sidang Tahunan Unesco di Kota Jeju, Korea Selatan pada 4-6 Desember 2017.
Untuk sampai ke persidangan di Jeju. Pinisi telah melakukan perjalanan panjang untuk mendapatkan predikat Warisan Dunia ini. Perjalanan itu dimulai pada tahun 2010 ketika Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar yang waktu itu di pimpin oleh Bapak Suriadi Mappangara melakukan pencatatan dan inventarisasi Budaya Tak-benda yang ada di daerah-daerah di Sulawesi Selatan. Saat itu penulis terlibat sebagai pencatat dan pengisi formulir awal tersebut.
Tiga tahun kemudian (2013) Pinisi diusulkan oleh Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisi Makassar bersama Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi-Selatan untuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Tentu saja bersama dengan karya budaya lainnya.
Oleh sebuah tim penilai dan verifikasi dari Direktorat Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang beranggotakan sejumlah pakar budaya dan diketuai oleh Dr, Muklis PaEni, menetapkan Pinisi sebagai Warisan Nasional 2013. Tentu dengan dengan berbagai pertimbangan dan penilaian yang disesuaikan dengan penilaian Unesco.
Perjalanan Pinisi tidak berhenti di sana, tim Kementerian RI kemudian mengusulkannya ke Unesco untuk dijadikan Warisan Budaya Takbenda Dunia (Intangeble Culture Heritage/ICH).
Maka pada tahun 2014 dimulailah pengisian formulir Unesco. Pengisian dan Pengusulan Formulir ke Unesco bukanlah hal yang mudah, karena berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam penilaian Unesco. Terutama pada nilai dan materi budaya yang akan diwariskan. Untuk itulah tim kemudian melibatkan sejumlah ahli dan masyarakat pendukung kebudayaan (Pinisi) untuk membuat rumusan-rumusan dalam formulir isian.
Di tahun itulah berkumpul sejumlah pakar budaya terutama yang konsen pada dunia maritim dan perkalapan, dan juga sejumlah tokoh masyarakat dan budayawan dari Bulukumba di Makassar, untuk menyatukan visi dan rumusan dalam pengisian formulir tersebut. Maka lahirlah sebuah judul “ Pinisi; The Art of Boatbuilding in South Sulawesi'.
Persidangan UNESCO semestinya berlangsung setiap tahun dan menetapkan warisan-warisan dunia, akan tetapi pada tahun 2015 terjadi kebijakan baru di Unesco dan persidangan dilakukan secara regional. Tahun 2016 semestinya Pinisi sudah masuk persidangan akan tetapi persidangan untuk Regional Asia-Pasifik baru bisa terlaksana ditahun 2017 ini. Maka barulah Pinisi ditetapkan sebagai Warisan Budaya-Tak-Benda Dunia menyusul warisan budaya yang sudah lolos terlebih dahulu, yakni: Keris (2008), Wayang (2008), Batik (2009), Best Practice Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken Papua (2012), Tiga Genre Tarian Tradisional Bali (2015), dan tahun ini Perahu Pinisi (2017)
Pinisi: Budaya Benda atau Tak-Benda?
Secara harfiah kita melihat dengan mata telanjang perahu Pinisi adalah sebuah hasil karya (budaya) manusia yang terdiri dari sejumlah susunan kayu dan di pakai berlayar di lautan samudra dengan menggunakan 7 helai layar. Lalu apa luar biasanya perahu pinisi disbanding perahu-perahu lainnya di buat oleh suku bangsa lainnya?
Ternyata setelah dilakukan kajian, yang luar biasa pada Perahu Pinisi adalah proses pembuatannya. Disanalah terkandung sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional yang dimiliki oleh para Panre Lopi, yang bisa bersaing dan bertahan dengan sistem pembuatan perahu modern.
Pengetahuan dan teknologi itu telah termiliki sejak dahulu oleh nenek-moyang orang Bugis-Makassar, khususnya yang berada di Bulukumba. Selain itu dalam pembuatannya mereka masih berpatokan sistem kepercayaan tradisional yang ada, sehingga dalam pembuatannya selalu ditemukan ritual-ritual.
Kemudian ketika perahu pinisi sudah lahir/ maujud, perahu inipun dilayarkan oleh-pelaut ulung dengan sistem navigasi tradisional dan sangat sederhana akan tetapi mampu mengarungi samudra luas hingga merapat ke dermaga yang paling jauh.
Semua aspek yang tidak terjamah (intangible) yang menjadi lebih penting untuk diwariskan ketimbang sebuah pisik sebuah perahu Pinisi yang terlalu mudah untuk dilapukkan oleh waktu… Akan tetapi ilmu pengetahuan-teknologi, ilmu navigasi, astrologi, system kepercayaan, tradisi, dan lain-lainnya telah teruji oleh zaman dan bisa bertahan hingga saat ini melalui pewarisan secara turun temurun.
Sesungguhnya nama “Pinisi” adalah merupakan “general name” untuk system pembuatan badan (lambung) perahu. Pinisi hanya mewakili system budaya-takbenda dalam pembuatan lambung perahu tradisional di Sulawesi Selatan, ia juga mewakili system bembuatan perahu palari, lambo, baqgoq, pattorani, padewakkang, pajala,dll, yang masing-masing bentuk lambungnya berbeda. Hanya saja perahu tradisional yang paling popular dari Sulawesi Selatan adalah ‘Pinisi”.
“Orang hanya tahu Pinisi…Yah nama itu saja…” Kata kawanku Horst Liebner, yang orang Jerman ahli perkapalan itu.
0 Comments