Istana bagi masyarakat Luwu Sulawesi Selatan adalah sebuah kerajaan tempat berdiam Datu (Raja) dan para kerabat-kerabatnya dimana lokasi atau tempat didirikannya menjadi pusat pemerintahan atau dikenal sebagai Ware di Kerajaan Luwu.
Sebagaimana halnya Istana Datu Luwu yang sekarang ada di Palopo, merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu (Ware pada periode ke V) yaitu sesudah dipindahkan dari periode Pao, Patimang Malangke (Ware ke IV). Istana Datu Luwu yang ada di Kota Palopo sekarang merupakan istana yang terakhir. Jika diketahui, sebagai Istana yang terakhir, maka tentu ada istana-istana sebelumnya yang menyadi pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ( Ware ).
Yang menjadi pertanyaan, dimana Istana Datu atau Kerajaan Luwu yang Pertama? tempat dimana didiami oleh Batara Guru, sebagai sokoguru pemerintahan Datu Luwu.
Menurut tradisi dan diyakini banyak pihak, Luwu dianggap sebagai daerah tertua bagi pemukiman manusia dan merupakan kerajaan yang tertua khususnya di Sulawesi. Hal itu menyebabkan daerah ini memiliki keistimewaan yang khusus. Ketuaan Luwu tidak dapat diukur pada periode ke III ketika Pusat Kerajaan Luwu berpusat di Kamanre di tepi Sungai Noling (Palopo Selatan atau Kabupaten Luwu sekarang) karena hal tersebut terjadi sekitar abad ke XV, atau ketika pusat kerajaan Luwu berada di Pao, Patimang Malangke karena hal itu juga terjadi pada sekitar abad ke XVI. Apalagi jika hal tersebut dilihat ketika pusat kerajaan Luwu berpusat di Palopo karena hal itu baru terjadi ketika memasuki abad ke XVII. Ketuan Luwu hanya dapat dipastikan ketika kerajaan Luwu berpusat di sekitar Wotu lama karena hal tersebut terjadi disekitar abad ke IX sampai abad ke XIII yaitu pada masa kerajaan Luwu periode Ware yang pertama.
Kembali pada permasalahan yang ada tentang dimana letak Istana Luwu yang pertama, dan hal ini kadang atau sengaja diabaikan sehingga perhatian kita hanya tertuju dimana Istana Datu Luwu yang ada sekarang, yaitu di Palopo atau yang menjadi Ware. Jika perhatian kita hanya mengarah pada pemahaman ini, dikhawatirkan khususnya para generasi muda wija to Luwu akan asing dengan sejarahnya sendiri, mereka kehilangan jejak, pemahaman tentang Luwu makin sempit. Jejak perjalanan panjang ketika Ware di Wotu yang menjadi tempat berpijak awal dari Batara Guru dan keturunannya, terabaikan.
Ketika Ware di Mancapai dekat Lelewawu selatan Danau Towuti tempat berpijak Datu Luwu Anakaji dan keturunannya, ketika Ware di Kamanre, ditepi sungai Noling sebelah selatan kota Palopo, tempat bepijak Dewa Raja dan keturunannya, ketika Ware di pindahkan ke Pao, di Patimang dan Malangke dimana terjadi peristiwa bersejarah yaitu masuknya agama Islam yang diperkenalkan oleh Dato Patimang.
Sebagai catatan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi antara abad ke IX sampai dengan Abad ke XVI Masehi. Kejadian itu berlangsung kurang lebih 700 tahun lamanya, terkadang perhatian kita diarahkan atau sengaja diarahkan pada kejadian yang selalu dijadikan fokus perhatian yang tertuju ke Palopo karena kedudukannya sebagai Ware sekarang baru terjadi pada abad ke XVII Masehi.
Hasil kajian dari beberapa penelitian serta cerita tutur yang terpelihara dengan baik di tanah luwu dengan memulai, perhatian dari cikal bakal lahirnya kerajaan Luwu dari periode Luwu Pertama, dengan menunjukan letak Istana Batara Guru.
Ada anggapan bahwa sebahagian orang, menganggap istana Luwu tempat berdiam Batara Guru yang pertama berada di Cerekeng ( Cerrea). Pendapat ini adalah sangat keliru karena masyarakat Bugis menetap di Cerekeng baru pada pertengahan abad ke Limabelas ,( Bulbeck dan Caldwell 2000;99 ) datang melalui Malili sekarang.
Adapun penduduk yang mendiaminya pada saat itu adalah Wotu, Pamona, To padoe atau Mori dan To Laki. Itulah sebabnya Malili tidak mempunyai penduduk asli, sehingga menurut Ian Caldwell Tidak ada bukti apapun yang menunjukan masyarakat Bugis di Cerekang maupun Ussu sebelum pertengahan abad ke Lima Belas. Hal ini berarti jikapun ada Identifikasi lokal atas Cerekang sebagai tempat Istana Batara Guru lebih tepat berlaku dari abad ke Enambelas ke atas. Lokasi dari pusat istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah ( anakronisme ).
Sebagai catatan kata Cerekang adalah terjemahan dari kata Cerrea yang merupakan nama asli Cerekeng. Cerrea dalam bahasa Wotu berarti tempat berpindah atau hijrah,terjadi ketika runtuhnya pusat kerajaan Luwu yang Pertama disekitar Wotu Lama yaitu sekitar Ussu dan Bilassalamoa. Sebagai tambahan menurut Ian Caldwell dalam tulisan “Kenyataan, Anakrotisme dan Fiksi: Arkeologi bersejarah dan pusat-pusat kerajaan dalam La Galigo”, menyatakan “Hampir pasti bahwa Istana Batara Guru di Cerekang di Teluk Bone Timur adalah sebuah Mitos".
Pemukiman Bugis di Cerekang hanya dimulai sekitar kurang lebih tahun 1450, berhubung dengan naiknya peleburan besi dan produksi alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata mengadopsi dan mengadaptasi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua.
Wilayah Wotu dahulu kala adalah tempat dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan pertama. Disini jugalah pohon raksasa (pappua maoge) Welenreng ditebang untuk digunakan membangun perahu Sawerigading ( Pelras 1996;59). Dua tempat di Luwu ini menyatakan bahwa disitulah bukit tempat dimana Istana Batara Guru berdiri. Daerah yang pertama adalah Wotu, sebuah kota kecil yang berbicara dalam bahasa daerah sendiri yang memiliki hubungan kausal dengan Kaili, Buton dan Selayar.
Identifikasi lainnya adalah bukit Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang. Disini terlihat atau nampak bagi kita bahwa tanpa keraguan, peneliti Ian Caldwell mengakui bahwa Wotulah yang lebih tua. Jika ingin jujur dan kembali dalam arus sejarah yang betul, maka seyogianya pemerintahan Kabupaten Luwu Timur membuat pertimbangan berdasarkan sejarah kata Cerekang agar dikembalikan sesuai dengan nomenklatur nama aslinya yaitu Cerrea.
Bukti lain adalah sesepuh kepala adat di Cerrea disebut sebagai Pua Cerrea atau nenek Cerrea. Pua tidak dikenal dalam bahasa Bugis, demikian pula halnya air suci yang ada di Cerekang (Cerrea) disebut Uwwe Mami yang berarti Air Kami atau atau air bertuah. Uwwe Mami tidak dikenal dalam bahasa Bugis tetapi hanya ada dalam bahasa Wotu.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Masyarakat Hukum Adat di Wotu disebut Macoa atau yang dituakan. Itulah sebabnya orang Wotu dianggap tua atau macoa, sehingga Datu-Datu Luwu yang mengerti Sejarah Luwu yang sebenarnya menempatkan adat Wotu sebagai yang sangat terhormat. Datu Luwu menempatkan Hadat Luwu sebagai Kakak atau Macoa, sehingga pemangku Hadat Wotu disebut Macoa Bawalipu ( Yang dituakan di bumi). Pemangku Hadat Wotu sangat menghormati dan menyayangi siapapun Datu di Luwu. Orang Wotu memperlakukan Datu Luwu sebagai adik yang harus dijunjung tinggi dan wajib dilindungi dan dibelanya, demikian pula sebaliknya.
Dahulukala Datu Luwu sangat menghargai orang Wotu sebagai kakaknya. Dianggap sebagai mana diperlihatkan Datu-Datu sebelumnya. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah tanah Luwu, ada sekelompok orang, atau pihak-pihak tertentu yang tidak memahami sejarah Luwu yang sebenarnya dan berada disekitar Datu Luwu, ingin menghilangkan hubungan baik ini, sehingga peran hadad Wotu sengaja dikesampingkan.
Orang Wotu sendiri sangat menghormati hadatnya. Keabsahannya tidak membutuhkan adanya pengesahan dari pihak lain termasuk siapapun yang menjadi Datu. Pemangku hadad Wotu dipimpin oleh seorang Macoa, dengan gelar Macoa Bawalipu. Sejujurnya peneliti dari manapun sulit menghilangkan Wotu dari sejarah tanah Luwu, karena apapun hasilnya, sejarah Luwu dimulai dari sana.
Referensi : Nawawi S Kilat
-
0 Comments